Senin, 18 Februari 2013

Sholat Dhuha: Kunci Meraih Rezeki Sepanjang Hari

Pentingnya Bertawakkal dalam Mencari Rezeki 

Ketika lapangan pekerjaan semakin sempit, kesempatan meraih hasil yang lebih banyak semakin kecil, dan ketika persaingan hidup menjadi lebih kompetitif di masa kini dan akan datang, maka waktu semakin lebih berharga, baik di tempat kerja, di rumah, dan di lingkungan sosial. Bahkan, selain itu, kita masih dihadapkan pada semakin tingginya tuntutan akan kebutuhan hidup dan besarnya pengeluaran yang harus kita bayar. Agar kita dapat keluar dari kemelut kehidupan dan mampu menjadikan aktivitas hidup berdimensi ibadah (vertikal dan horizontal), maka kita perlu bertawakkal kepada Allah Swt. atas rezeki dan keinginan untuk meraihnya-karena adanya berbagai macam kebutuhan hidup.  


Pentingnya bertawakkal dalam mencari rezeki didasarkan pada dua alasan, yaitu: Pertama, tawakkal menjadikan seseorang bebas dari beban duniawi, sehingga ia dapat beribadah dengan baik dan tenang. Orang yang tidak bertawakkal mustahil dapat menyibukkan diri dalam beribadah karena terlalu memikirkan kebutuhan hidup yang banyak, keinginan mencari rezeki, dan kemaslahatan, baik lahir maupun batin. Kesibukan-kesibukan lahiriah yang sering kali melupakan (melalaikan) ibadah dapat berupa banyaknya pekerjaan dan usaha dalam mencari rezeki. Hal ini seperti yang terjadi pada orang-orang yang ingin menumpuk kekayaan (ar-raghibin). Adapun kesibukan batiniah berupa pikiran, keinginan, dan kegelisahan hati untuk mencari rezeki. 

Dalam pelaksanaan ibadah, dibutuhkan kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh agar segala elemen yang terkait dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang ada. Kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh hanya terjadi bila seseorang mau bertawakkal. Dengan kata lain, hanya orang-orang bertawakkallah yang mampu meraih kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh. 

Adapun orang yang lemah hatinya hampir tidak akan mencapai ketenangan dalam jiwanya, kecuali hanya pada hal-hal yang sudah diketahuinya dan menjadi kebiasaannya. Di samping segala urusan penting, baik yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, hampir dipastikan dia tidak pernah mencapai kesempurnaan. 

Imam al-Ghazali juga mengatakan, banyak sekali hal-hal yang saya dengar dari guru saya, Abu Muhammad. Bahwasanya beliau mengatakan, "Segala persoalan yang ada di dunia ini berjalan atas dua orang; orang yang bertawakkal (al-mutawakkil) dan orang yang kurang perhitungan (al-mutahawwir)." Pernyataan tersebut memiliki makna yang luas. Orang yang kurang perhitungan akan mendasarkan pekerjaannya pada kekuatan dan keberanian saja, tanpa memikirkan atau menimbang-nimbang dampak positif dan negatif dari tindakan yang diambilnya. 

Adapun orang yang berawakkal, maka segala perbuatannya didasarkan pada pemikiran dan perencanaan yang matang, keyakinan yang kuat terhadap janji Allah Swt., dan kebenaran atas apa yang dijanjikan oleh-Nya. Karena itu, ia tidak akan merasa takut dengan ancaman manusia dan gangguan serta bujuk rayu setan. Dalam hatinya, tertancap satu keyakinan bahwa ia akan berhasil mencapai maksudnya dan meraih keinginannya.

Adapun orang yang hatinya lemah, maka ia akan selalu dihantui berbagai macam perasaan antara tawakkal, keraguan, dan keyakinan. Orang seperti ini diibaratkan burung dalam sangkar yang hanya bisa memandang gerak-gerik pemiliknya, sementara ia tidak bisa membuka pintunya walaupun keinginannya untuk keluar dari sangkar itu sangat besar. Kategori orang seperti ini menggantungkan harapan yang besar dan ingin menggapai angkasa, tetapi ia sering gagal dalam merencanakan tujuannya karena kurang wawasan (pengetahuan). Demikian pula ia sering memimpikan kemuliaan, ibarat pungguk merindukan rembulan, namun impiannya tersebut hampir tidak pernah terwujud dalam kenyataan, apalagi sampai pada tingkat kesempurnaan.


Lihat dan perhatikan manusia yang bercita-cita! Mereka tidak akan dapat mencapai derajat yang tinggi dalam kehidupan kecuali jika mereka telah mampu dan sukses merencanakan tujuannya, rela mengorbankan keinginan akan jiwa, kekayaan, dan keluarga mereka semata-mata karena Allah. Orang-orang yang orientasinya adalah Allah dan Hari Akhir, mereka telah mempersiapkan diri dengan modal spiritual yang utama, yaitu tawakkal dan berupaya mencegah hati dan seluruh eksistensi dirinya dari ketergantungan-ketergantungan duniawi. Jika seorang hamba mampu mengaplikasikan konsep ini dengan baik dan benar, maka is akan dapat melaksanakan aktivitas ibadahnya dengan rasa khusyuk dan sikap tawadhu', khudhu', dan thuma'ninah. Maka, tidak ada bedanya bagi mereka ketika berada di dalam kondisi bagaimanapun, dan situasi apa pun juga tidak berengaruh bagi eksistensi diri mereka di hadapan Allah.


Mereka mampu mengondisikan dirinya menjadi sepi di tengah keramaian dan ramai di tengah kesepian. Dengan demikian, orang-orang seperti ini akan menjadi hamba-hamba Allah yang diberi-Nya kekuatan, manusia yang paling terpimpin bersama-Nya, dan penguasa-Nya di bumi (khalifah Allah). Mereka dapat beribadah dan menuntut ilmu sesuai dengan kemauan Allah. Tidak ada yang mampu menghalangi dan merintangi mereka, sebab bagi mereka pada setiap situasi, kondisi, ruang (tempat), dan waktu (zaman) adalah sama dan satu esensinya. 


Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah Saw. berikut: "Barang siapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka bertawakkallah kepada Allah. Barang siapa ingin menjadi orang yang paling mulia, maka bertakwalah kepada-Nya, dan barang siapa yang ingin menjadi orang yang paling kaya, maka hendaklah ia mempercayai (meyakini) kekuasaan Allah daripada kekuasaan dirinya,"

Tawakkal adalah suatu sifat dan sikap yang dapat mengantarkan seseorang untuk dapat melihat dunia dan akhirat sebagai kerajaan yang dimiliki dan dikuasai oleh Allah Swt., dan meyakini sepenuhnya akan pengaturan-Nya terhadap dirinya dengan rezeki-Nya yang tersebar luas di segala penjuru dunia ini.


Kedua, orang yang selalu bertawakkal tidak pernah khawatir, takut, dan ragu akan kekurangan rezeki, sebab ia meyakini bahwa bila ia meninggalkan tawakkal, maka ia akan menemul bencana dan bahaya yang besar. la meyakini bahwa Allah senantiasa mengiringi makhluk-Nya dengan rezeki-Nya masing-masing, tanpa adanya diskriminasi atau pengecualian.


Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: "Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan." (QS. ar-Rum [30]: 40).

Allah Swt. telah menjanjikan dan memberikan jaminan rezeki kepada siapa pun juga, hal ini mengisyaratkan akan sifat Rahman, Rahim, Wahhab, Razzaq, Fattah, Ghaniy, dan Mughniy-Nya, Berta sifat-sifat Kedermawanan-Nya yang tidak dapat dibatasi dan diperumpamakan dengan sesuatu apa pun juga. Hal tersebut dijelaskan dalam beberapa firman-Nya di bawah ini: "Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 58).  "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Hud [11]: 6). "Maka demi Tuhan langit dan bumf, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan." (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 23).


Tawakkal adalah termasuk di antara perintah-perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap hamba yang telah berikrar untuk beriman kepada-Nya. Hal ini dapat menjadi barometer kualitas keimanan seseorang di hadapan Allah Swt., sebagaimana isyarat firman-Nya: "Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Maha Hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya." (QS. al-Furgaan [25]: 58).


"Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: `Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. al-Maa'idah [5]: 23). 


Jika manusia tidak mau menerima dan membenaran janji Allah, jaminan, sumpah, dan ancaman-Nya, maka bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Siapa lagi yang memberi rezeki selain Allah? Demi Allah, jika demikian halnya, maka inilah yang disebut dengan bencana besar yang menimpa manusia. Na'udzu billah min dzalik. Sumber: Buku Orang Islam Harus Kaya

Tags yang terkait dengan kunci rezeki: kunci rezeki menurut islam, kunci rezeki yang hilang, download document kunci rezeki, mencari kunci rezeki yang hilang, makalah kunci rezeki, tips untuk memperoleh kunci rezeki, rezeki menurut islam, doa melancarkan rezeki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar