A. Pengertian, fungsi dan tujuan Agama.
Agama adalah fitrah
“ketentuan mutlak” bagi Manusia tanpa manusia agama bukan berarti
apa-apa, karena Agama memang ditujukan bagi manusia.[1]
Pengertian Agama berasal
dari bahasa sansekerta. Menurut pengertian umat hindu penganut madzhab
siwa, kata agama yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia sebagai
istilah kerohanian, berasal dari kata Gam yang berarti pergi, Gam diberi
awalan “A” yang berarti Agam berarti kebalikan dari pergi yang artinya
datang, dan diberi akhiran “A” menjadi agama dengan arti kedatangan.[2]
[1] Murtadha mutahhari, Perspektif Al-Qur`an tentang Manusia dan Agama, peny., Haidar bagir, (Bandung: Mizan, 1997), h. 41-42.
[2] T.H. Thalhas, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Galura pass, 2006), h. 19-20.
Sementara itu ada juga penulis yang
mengartikan bahwa agama menurut bahasa sansekerta terdiri dari dua kata
“A” dan “Gama”, A yang berarti tidak dan Gama yang berarti kacau balau,
jadi agama mempunyai arti tidak kacau balau (teratur).[1]
Bila agama itu disalin ke dalam bahasa
arab yang berarti al-Din atau al-millah, ia dapat bermakna adat
kebiasaan, tingkah laku, patuh, hokum, aturan, dan pikiran.[2]
Orang barat menggunakan kata agama dengan
sebutan Religion yang biasanya digunakan untuk kepentingan tertentu dari
umat manusia yang merupakan unsure pokok bagi kehidupan manusia di
seluruh dunia. Pengertiannya adalah hubungan yang tetap antara manusia
dengan yang bukan manusia.[3]
Sementara itu definisi mutlak dari agama
dalam wacananya agak mengalami kesulitan tersendiri, bahkan hampir
mustahil untuk dapat mendefinisikan agama yang bias diterima atau
disepakati semua kalangan. Untuk itu setidaknya ada tiga cara pendekatan
yaitu segi fungsi, institusi, dan subtansi.[4]
Para ahli sejarah, cenderung mendefinisikan
agama sebagai suatu institusi historis. Para ahli di bidang sosiologi
dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi
sosialnya. Pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama
dari aspek substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral.
Pada hakikatnya ketiga pendekatan itu tidak saling bertentangan,
melainkan saling melenyempurnakan dan melengkapi, khususnya jika
menginginkan agar pluralism agama didefinisikan sesuai kenyatan
objektif di lapangan.[5]
Sementara itu fungsi dan tujuan dari agama
adalah sebagai tatanan Tuhan yang dapat membimbing Manusia yang berakal
untuk berusaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat “kehidupan
selanjutnya”.[6]
Agama mengajarkan para penganutnya untuk
mengatur hidupnya agar mendapatkan kebahagiaan untuk dirinya maupun
masyarakan sekitarnya, selain itu sebagai pembuka jalan kepada sang
Pencipta manusia. Tuhan yang Maha Esa ketika telah mati. Ajaran agama
yang universal mengandung kebenaran yang tidak dapat diubah meskipun
masyarakat telah menerima itu berubah dalam struktur dan cara
berfikirnya.[7]
A. Dimensi (unsur-unsur) Agama.
Dimensi Agama yang telah dikonsepsikan
manusia adalah: adanya kepercayaan kepada Sang Pencipta, Adanya wahyu
asli, dogma teologi, yakin tentang adanya supranatural, adanya proses
evolusi.
B. Kebutuhan manusia terhadap agama.
Kita mungkin telah dapat merasakan
bagaimana pentingnya peranan yang telah dimainkan oleh agama dalam
kehidupan manusia. Hal itu malah mungkin menimbulkan kekecewaan pada
manusia, karena betapa sering perwujudan agama gagal. Begitu juga kita
telah merasakan betapa pentingnya mutu kehidupan beragama itu bagi
seluruh tradisi manusia.[8]
Barangkali kita juga telah mengambil sikap
baru terhadap agama lain yang bukan agama kita peluk sendiri. Bukan
dalam arti bahwa kita menyetujui semua agama tersebut. Dalam menelaah
kehidupan semua agama manusia tersebut, tidak ada hal yang mengharuskan
garis batas keyakinan agama lain terlewati. Namun barangkali kita telah
dapat memandang agama-agama tersebut sebagai keyakinan yang dianut oleh
manusia yang hidup, yaitu orang-orang yang juga mempertanyakan berbagai
masalah dasar yang juga kita pertanyakan, mereka juga mencari hidup yang
lebih luhur terhadap agamanya.[9]
Agama mengambil bagian pada saat-saat yang
paling penting dan pada pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran,
menandai pergantian jenjang masa dewasa, mengesahkan perkawinan, serta
kehidupan keluarga, dan melapangkan jalan dari kehidupan kini menuju
kehidupan yang akan datang. Bagi juataan manusia, agama berada dalam
kehidupan mereka pada saat-saat yang paling khusus maupun pada saat-saat
yang paling mengerikan . agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan kita. Adakah kekuatan
tertinggi lain yang mampu memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan kita? Bagaimanakah kehidupan dimulai? Apa arti
semuanya ini? Mengapa orang menderita? Apa yang terjadi terhadap diri
kita apabila kita telah mati?[10]
Mengingat hal demikian wajarlah jika agama
menjadi sangat dibutuhkan oleh manusia, karenanya ia mampu memberikan
jawaban sekaligus inspirasi bagi terwujudnya kehidupan yang diinginkan
manusia.
C. Beberapa teori dan pendekatan dalam ilmu Agama.
Ada beragam teori dan pendekatan yang
dilakukan para sarjana, diantaranya adalah: Para sarjana barat dalam
teorinya terhadap cara pendekatan dalam ilmu agama memakai metode[11]:
1. Metode
pendekatan structural fungsionalistis, yang berarti pendekatan yang
bertitik tolak pada pertanyaan-pertanyaan (apa fungsi dan peranan agama,
bagaimana kedudukan dalam struktur masyarakat dalam kehidupannya
sehari-hari).
2. Metode
pendekatan fenomenologis yaitu metode yang berusaha melihat dari dalam
atau substansi dari isi kepercayaan agama itu sendiri.
Disamping itu berdasarkan penelitian secara
empiris dan memperhatikan hasil-hasil pembahasan yang telah dilakukan
oleh para sarjana[12], yaitu:
1. Metode historis dengan tokohnya Maurie Vernas (1854-1929).
2. Metode
antropologi dengan tokohnya seperti tylor (1823-1917) dan J.G. frazer
(1854-1916) yang menitik beratkan pada penelitian dan penyelidikan
terhadap agama primitive.
3. Metode
philology dengan tokohnya Max Muller (1823-1900) yang menggunakan
perbandingan philology, dengan cara mempelajari myitology (mitos
kepercayaan).
4. Metode
originally (asal-usul agama) dengan tokohnya Herbert spencer
(1820-1898) dengan bukunya yang terkenal antara lain principles of
sociology, sebagai pertumbuhan dan perkembangan agama yang dilihat dan
ditinjau dari asal-usul agama itu berada.
5. Metode
sociology dengan tokohnya yang utama adalah Emile Durkheim (1858-1917).
Pada umumnya metode ini mendapat sambutan yang baik dan digunakan oleh
para sarjana di masa kini, yang digunakan oleh syeh Muhammad Abduh
(1849-1905) sebagai tokoh sarjana muslim.
6. Metode
volkersychology dengan tokohnya yang utama adalah M Lazarus (1824-1903)
sarjana dari jerman. Metode ini menghampiri agama dari aspek-aspek
psikologi rakyat dan penganut-penganutnya.
Maka dengan demikian akan tercapainya
pemahaman terhadap ilmu-ilmu agama, apabila dalam teori dan
pendekatannya mengunakan berbagai ilmu pengetahuan yang saling berkaitan
seperti, sejarah, arkeologi, geografi antropologi, dan psikologi.
Dengan begitu integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya
setidaknya akan memberikan pengertian yang utuh terhadap agama.
Daftar Pustaka
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia, terj., Saafroedin bahar (Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2001).
Keene,Michael. Agama-agama Dunia, terj., F.A. Soepapto (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Thalhas, T.H. Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Galura pass, 2006).
Mutahhari, Murtadha Perspektif Al-Qur`an tentang Manusia dan Agama. peny., Haidar bagir (Bandung: Mizan, 1997).
Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan kritis (Depok: Perspektif, 2005).
[1] Ibid,. 20.
[2] Ibid,.
[3] Ibid,.
[4] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan kritis (Depok: Perspektif, 2005), h. 13.
[5] Dr. Anis Malik Thoha, h. 13-14.
[6] T.H. Thalhas, h. 21.
[7] Ibid,. 19.
[8] Huston smith, Agama-Agama Manusia, terj., Saafroedin bahar (Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2001), h. 412.
[9] Huston smith, h. 412.
[10] Michael Keene, Agama-agama Dunia, terj., F.A. Soepapto (Yogyakarta: Kanisius, 2006),h. 6-7.
[11] T.H. Thalhas, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Galura pass, 2006), h. 34.
[12] T.H. Thalhas, 34-35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar