Senin, 18 Februari 2013

Guru dan Islam Rahmatan lil ‘Aalamin

Mencari ilmu pengetahuan merupakan keweajiban setiap individu. Ilmu tidak melulu pelajaran yang diajarkan oleh guru dikelas, akan tetapi ilmu bisa dipelajari oleh siapa saja dan dimana saja. Akan tetapi saat ini ada kesan dari masyarakat untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Saking asyiknya dengan aktifitas mencari ilmu, akhirnya secara tidak sadar mereka melupakan aspek pendidikan yang sangat fundamental yaitu pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Diantara banyaknya permasalahan di Negara Indonesia hampir bisa di pastikan disebabkan oleh gagalnya pendidikan kita dalam proses character building.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup dengan sendirinya. Sejatinya, manusia memiliki hati nurani yang mana dengannya manusia dapat membedakan mana yang benar dan salah. Karena hidup bersama masyarakat luas, tentunya masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hak manusia yaitu mendapatkan informasi atau ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk meningkatkan kualitas dan daya pikirnya. Sedangkan kewajiban sebagai manusia yang pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT tidak lain yaitu menyembah_Nya. Dengan arti lain, manusia harus menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dalam segala aktifitas mencari ilmu.
Ketika manusia memiliki hasrat yang tinggi dalam mencari ilmu, pastinya ia mencari lembaga pendidikan yang memiliki corak yang pas dengan apa yang diinginkannya. Menuntut ilmu memang suatu kewajiban bagi setiap manusia yang mengaku dirinya menyembah Allah SWT. Untuk menciptakan kepribadian yang lebih baik perlu lembaga pendidikan yang berkualitas dari berbagai segi. Namun, lembaga pendidikan yang ada saat ini secara mayoritas belum bisa mengarah kesana.
Banyaknya tindakan korupsi, kekerasan, kenakalan remaja hampir bisa dipastikan disebabkan oleh nilai pendidikan yang diterimanya selama ini belum mampu membentuk kepribadian seseorang dengan baik.
Berbicara tentang perilaku manusia berarti bicara pula tentang akhlak. Dengan akhlak inilah kita bisa tahu apakah orang tersebut baik atau buruk perilakunya. Karena menyangkut kepribadian seseorang, kita tidak bisa membatasinya dengan dunia anak-anak saja, tapi termasuk juga orang tua dan juga masyarakat. Akhlak seseorang dalam lingkungan tertentu akan mampu mempengaruhi akhlak orang lainnya, oleh sebab itu harus ada semacam integrasi akhlak antara yang satu dengan yang lain.
Untuk memanusiakan manusia kita butuh pendidikan, sedangkan untuk mengetahui sukses tidaknya pendidikan kita bisa lihat akhlak anak didiknya sebagai hasil dari proses penddikan. Untuk itu, penulis ingin mengupas tentang peran guru dalam upaya membentuk akhlak manusia sebagai bentuk realisasi amanat Islam sebagai agama rohmatan lil ‘aalamin.
Guru dan Dimensi Afektif
Bangsa Indonesia sedang mengalami keterpurukan moral. Banyak kasus yang menjadi bukti bahwa penanaman akhlak telah gagal, kondisi seperti ini disebabkan minimnya cendekiawan yang cerdas dan berakhlak tinggi. Merosotnya moral siswa tergantung pada moral pendidik dan orang tua, begitu pula dengan masyarakat, rendahnya moral warga negara tentu sangat dipengaruhi oleh moral pemimpinnya, ibarat “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.
Guru adalah tenaga pendidik yang salah satu tugasnya yaitu menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (McLeod, 1989). Karena kewajibannya adalah menanamkan nilai-nilai ke dalam diri orang lain, maka guru tidak cukup disebut sebagai pengajar. Lebih dari itu, guru harus menjadi pendidik. Jika kata “mengajar” berarti mentransfer ilmu ke dalam diri anak didik. Maka “mendidik” memiliki makna selain mentransfer ilmu, juga mentransfer nilai-nilai (akhlak) positif ke dalam diri anak didik.
Untuk mendidik anak, seorang guru harus memiliki kepribadian, karena kepribadian merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pendidikan. Zakiah Daradjat (1982) menegaskan,“Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan Pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak”.
Dari penjelasan tersebut kita bisa tahu bahwa guru memiliki porsi lebih dalam membentuk kepribadian anak, tidak jarang peran guru mampu mengungguli peran orang tua. Namun, hal itu tidak bersifat mutlak, artinya bukan berarti hanya guru saja yang dituntut untuk memiliki akhlak baik. Orang tua justru harus lebih menuntut dirinya untuk memiliki kepribadian yang baik. Faktanya, orang tua seringkali menyalahkan guru ketika anaknya berperilaku buruk. Padahal seharusnya orang tualah yang lebih bertanggung jawab ketika anaknya memiliki akhlak yang kurang baik.
Mendidik anak bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama. Adnan, (2010) menggarisbawahi bahwa pendidikan mencakup tiga dimensi yaitu (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan , dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Dalam hubungannya dengan kajian ini, dimensi afektiflah yang pada hakekatnya tersirat amanat agama islam sebagai rohmatan lil ‘alamin. Dimensi afektif yang menitik beratkan pendidikan pada kualitas keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia harus disadari oleh semua guru ketika melakukan proses mengajar. Dengan demikian, pendidikan belum bisa dikatakan sukses apabila anak didik belum memiliki keimanan, ketaqwaan dan akhlak yang lebih baik.
Keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah adalah tiga komponen pokok akhlak seseorang yang saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Keimanan menunjukkan ia tunduk kepada perintah Allah SWT. Ketaqwaan sebagai derajat tertinggi manusia dimata Allah SWT yang bisa diraih dengan akhlakul karimah (akhlak terpuji). Untuk itu, seorang guru harus lebih memusatkan perhatiannya terhadap pendidikan ketiga komponen tersebut apabila ingin membentuk akhlak anak didiknya secara maksimal.
Islam, Rohmatan Lil ‘Alamin
Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia untuk menyampaikan agama rohmatan lil ‘alamin. Rosulullah SAW sebagai sosok pendidik yang professional seharusnya ditiru oleh para pendidik, hal ini dibuktikan beliau ketika menyebarkan Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang.
Kata Rohmat memiliki arti “kelembutan yang terpadu dengan rasa iba” (Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang.
Pendidikan yang disampaikan dengan kekerasan sudah tidak cocok lagi diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, pendidikan yang diajarkan dengan penuh kasih sayang -baik oleh guru maupun orang tua- terbukti mampu diterima di hati anak dari pada mendidik dengan kekerasan.
Dalam upaya membentuk akhlak anak, akan lebih baik apabila melakukan pendekatan kasih sayang. Sebab, hukuman fisik hanya akan membuat mental diri anak didik merasa tertekan dalam mencari ilmu. Jika anak merasa tertekan dan takut, yang akan terjadi justru kenakalan yang disengaja sebagai bentuk pelampiasan kejengkelan terhadap tindakan guru.
Dengan menanamkan nilai kesabaran, kasih sayang serta kejujuran maka dengan itu kepribadian seorang anak didik akan bisa dipupuk dengan harapan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu lebih berharga daripada sekedar pandai otaknya namun hatinya tidak tertata dengan baik. Bagaimanapun juga anak didik nantinya akan terjun ke masyarakat dan masyarakat akan menilai kepribadian seseorang terlebih dahulu daripada kecerdasaan pikirnya.
Banyaknya kekerasan merupakan salah satu dampak dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan akhlak. Agama islam jauh-jauh hari sudah menganjurkan supaya manusia bertindak dengan penuh kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Masalah kekerasan bukan hanya tugas guru, melainkan tugas seluruh elemen masyarakat yang harus turut menjaga dan meningkatkan mutu kepribadiannya.
Cinta damai, itulah nilai positif lainnya yang tersirat dari kalimat “rohmatan lil ‘aalamin”. Guru sebagai agen perubahan (agen of change) memiliki tugas yang amat besar diantaranya yaitu menyebarkan islam yang cinta damai. Kedamaian tidak akan terwujud apabila hanya segelintir orang yang melakukannya. Berawal dengan merubah pola pendidikan yang humanis dan memiliki akhlak yang baik, maka nilai-nilai kedamaian akan tersebar lebih luas.
Implementasi Akhlak
Sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar, “pendidikan akhlak bagi siswa bukan hanya tanggungjawab guru di sekolah, melainkan juga tanggungjawab semua pihak baik orang tua maupun masyarakat lainnya. Karena waktu siswa lebih banyak berada di rumah dan masyarakat dari pada di sekolah”.
Dari pernyataan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan akhlak adalah tugas masyarakat seutuhnya tanpa terkecuali. Untuk menanamkan akhlak yang luhur tentunya banyak hal yang harus diupayakan. Mulai dari segi keilmuan sampai pada bentuk aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan semakin meningkatnya kualitas pendidikan akhlak masyarakat akan mampu memajukan bangsa. Untuk itu, dalam penerapan pendidikan akhlak dibutuhkan pendekatan baru dalam pembelajaran, yaitu pendidikan yang terintegrasi dalam materi belajar. Selain itu juga dibutuhkan sinkronisasi antara kegiatan intra dan ekstrakurikuler bagi siswa.
Nilai pendidikan yang terintregasi yang mungkin bisa dilakukan oleh pihak guru bekerjasama dengan orang tua siswa yaitu dengan memfokuskan pendidikannya pada tiga hal yaitu olah pikir, olah dzikir dan olah raga. Untuk menanamkan ketiga hal tersebut perlu adanya upaya menyambung kembali educational networks yang mulai terputus. Pembentukan dan pendidikan akhlak tersebut, tidak akan berhasil selama antarlingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Keluarga sebagai al-madrosatul ulaa (sekolah yang pertama) harus segera diberdayakan. Sebagai wujud dari terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, pihak keluarga hendaknya menjadi sekolah kasih sayang atau tempat belajar yang penuh dengan kasih sayang dari anggota keluarga. Adapun pendidikan akhlak yang dilakukan oleh pihak sekolah hendaknya lebih menekankan pada aspek etika dan estetika serta penanaman moral kepada semua siswa.
Membangun moral anak bangsa melalui pendidikan akhlak mutlak diperlukan, apabila saat ini masih ada pihak yang belum menjadikan hal ini sebagai permasalahan serius maka hendaknya segera introspeksi sistem pendidikan yang dilaksanakan selama ini. Baik dari rumah tangga, sekolah dan masyarakat semuanya harus saling bersinergi. Dengan demikian, untuk mencapai bangsa yang berbudi luhur, beradab, dan berperadaban tinggi bukan lagi hal yang mustahil.
Dengan demikian, Untuk mewujudkaan pendidikan akhlak dalam rangka membangun peradaban bangsa tersebut harus dimulai dari pembentukan kepribadian orang tua, guru baru diikuti dengan mengarahkan anak didik untuk memiliki akhlak yang unggul, kemudian diimplementasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila pola tersebut dapat diwujudkan maka tinggal melengkapi dengan perangkat-perangkat yang mendukung terealisasinya pendidikan akhlak di Indonesia.
Melalui al-Qur`an dan Hadits, Allah SWT telah membuktikan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Semua kegiatan diperintahkan untuk melaksanakannya dengan penuh kasih sayang, begitupula dalam mendidik anak, islam memerintahkan untuk mendidik dengan penuh rasa kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw ketika mendidik keluarga dan umatnya, sama halnya dengan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika mendidik anaknya (Surat Luqman : 13). Maka kita sebagai umat Islam harus meneladani Nabi-Nabi dalam mendidik. Baik pendidikan itu berupa penyampaian materi dikelas, nasehat guru atau orang tua kepada anaknya, bahkan hukuman yang diberikan pun harus menunjukkan bahwa semuanya dilakukan dengan penuh kasih sayang dan demi kebaikannya.
Mungkin inilah solusi yang penulis tawarkan sebagai sumbangsih untuk memajukan bangsa melalui pendidikan akhlak. Jadi, apabila kita masih menginginkan terciptanya kehidupan yang cinta damai, alangkah baiknya apabila dimulai dari bidang pendidikan yaitu bersama-sama memaksimalkan pendidikan akhlak. Sebab bagaimanapun juga, awal mula kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh ilmu yang diajarkan ketika masa anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar