A. MANUSIA MENURUT ISLAM
Pertanyaan mengenai pengertian
manusia dan konsepsinya merupakan sesuatu yang cukup rumit. Hal tersebut
disebabkan panginterpretasian terhadap manusia itu sendiri oleh manusia dapat
dilakukan dari berbagai sudut pandang.Sebagian besarnya menyatakan bahwa
manusia itu pada dasarnya adalah hewan.
Namun Islam dan Alqu’arn sebagai kitabnya tidak menggolongkan manusia
sebagai hewan, selama manusia tersebut menggunakan apa yang telah Tuhan
karuniakan kepadanya.
"…
Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih
rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179)
sumber : http://isyraq.wordpress.com/ |
Alqu’ran
memiliki beberapa istilah untuk menggambarkan manusia. Beberapa di antaranya
yang terdapat di dalam Alqur’an adalah bahwa manusia disebut sebagai al-insan (QS 76:1), an-nas (QS 114:1), basyar (QS
18:110), bani adam (QS 17:70). Dari
istilah itu semua, sebuah studi isi Alquran dan Hadits menyebutkan bahwa
manusia (al-insan) adalah makhluk
ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan
mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati
gejala-gejala alam, mempunyai rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya dan
berakhlak[1].
Hakikat
manusia menurut Islam terdiri dari dua unsur, yaitu unsur fisik (materi) yang
berupa tubuh dan unsur nonfisik (immateri) yang berupa roh, hal tersebut sesuai
dengan yang diungkapkan Alqur’an (QS 23:12-14, 32:7-9) dan haditis yang
berbunyi :
"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan
kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air
mani), empat puluh hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula
sebagai mudhghah (segumpal daging). Kemudian Allah mengutus malaikat untuk
meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada dalam rahim itu" (HR
Bukhari dan Muslim)
Ali
Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan
pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia mempunyai
dua dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan
keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi
namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan
untuk memilihnya, apakah manusia akan bergerak ke jalan Tuhan atau sebaliknya
mengarah ke jalan setan. Di sana lah peranan akal manusia sebagai suatu hidayah
Allah untuk menuju kepada-Nya, yang mana dalam menggunakan akal tersebut manusia
membutuhkan petunjuk yang benar yaitu Islam, yang menyeimbangkan antara dunia
dan akherat.
B.
PENGERTIAN AGAMA DAN RUANG LINGKUPNYA
Agama sebagai suatu istilah yang
seringkali kita dengar ternyata memiliki banyak perngertian juga.Hal itu senada
dengan yang dikemukakan WC Smith, "Tidak berlebihan jika kita katakan
bahwa hingga saat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat
diterima". Meski demikian, para cendekiawan besar dunia memiliki definisi,
atau yang lebih tepatnya kita sebut dengan kesimpulan mereka tentang fenomena
agama.Dari itu semua, istilah agama berasal dari bahasa sanskerta,yakni “agama”, “igama”, dan “ugama”. Agama artinya
peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya
peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama artinya
peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti
pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Namun
demikian, agama juga bisa berarti kata agama yang dipergunakan dalam bahasa
Indonesia sebagai istilah kerohanian, berasal dari kata Gam yang berarti pergi,
Gam diberi awalan “A” yang berarti Agam berarti kebalikan dari pergi yang
artinya datang, dan diberi akhiran “A” menjadi agama dengan arti kedatangan[2].
Sementara itu ada juga penulis yang mengartikan bahwa agama menurut bahasa
sansekerta terdiri dari dua kata “A” dan “Gama”, A yang berarti tidak dan Gama
yang berarti kacau balau, jadi agama mempunyai arti tidak kacau balau (teratur)[3].
Bila agama itu disalin ke dalam bahasa arab yang berarti al-Din atau al-millah, ia
dapat bermakna adat kebiasaan, tingkah laku, patuh, hokum, aturan, dan pikiran.
Namun demikian, persamaan istilah
agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama adalah
sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda
atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Sementara itu fungsi dan tujuan
dari agama adalah sebagai tatanan Tuhan yang dapat membimbing Manusia yang
berakal untuk berusaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
“kehidupan selanjutnya”. Agama
mengajarkan para penganutnya untuk mengatur hidupnya agar mendapatkan
kebahagiaan untuk dirinya maupun masyarakan sekitarnya, selain itu sebagai
pembuka jalan kepada sang Pencipta manusia. Tuhan yang Maha Esa ketika telah
mati. Ajaran agama yang universal mengandung kebenaran yang tidak dapat diubah
meskipun masyarakat telah menerima itu berubah dalam struktur dan
cara berfikirnya[4].
C.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN AGAMA
Dalam menjawab pertanyaan "mengapa manusia mesti
beragama?", banyak hal yang bisa kita utarakan dalam menjawabnya, dan
tentunya tidak mungkin untuk kita sebutkan semuanya di sini.
Jawaban yang paling sesuai untuk dipaparkan demi menjawab pertanyaan yang
mendasar ini adalah jawaban yang mendasar pula, yang berpulang
kepada hakikat manusia itu sendiri.
Allah
berfirman dalam AlQuran surat Ar Rum (30) ayat 30 :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Fitrah menurut ayat diatas adalah dasar penciptaan manusia, sifat pembawaan manusia sejak ia diciptakan dan merupakan kebutuhan hakiki manusia. Kebutuhan manusia di bagi dua, yaitu kebutuhan fitrah dan kebutuhan “kebiasaan”. Kebutuhan fitrah adalah kebutuhan hakiki setiap manusia, seperti kebutuhan berkeluarga, rasa ingin memiliki, keingintahuan akan sesuatu dan keinginan mencintai dan dicintai. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak bisa dilepas dari manusia, meskipun generasi berikutnya dididik khusus agar dalam hidup mereka tidak mengenal kebutuhan-kebutuhan tersebut. Adapun kebutuhan kebiasaan adalah kebutuhan yang tidak melekat dengan penciptaan manusia, tetapi akan menjadi kebutuhan manakala dilakukan berulang-ulang, seperti ken\butuhan akan minuman keras atau ganja, perlahan-lahan kebutuhan tersebut akan menjadi kebutuhan alamiah, akan tetapi dengan usaha intensif kebutuhan-kebutuhan itu dapat ditinggalkan, bahkan dapat mendidik generasi berikutnya untuk tidak pernah mengenal sedikitpun kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Islam
sebagai agama adalah kebutuhan fitrah yang akan melekat terus dalam kehidupan
manusia. Fitrah manusia yang membutuhkan agama, digambarkan Allah dengan suatu
perjanjian antara Allah dengan manusia jauh sebelum manusia dialam rahim, atau
tepatnya di alam ruh :
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengata- kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (7:172)
Perjanjian inilah yang dimaksud keterikatan manusia kepada agama yang diungkapkan oleh para tokoh berikut ini:
Perjanjian inilah yang dimaksud keterikatan manusia kepada agama yang diungkapkan oleh para tokoh berikut ini:
1. Alexis Carell : “Pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukan kepada manusia, kesalahan yang terkadang dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah kemunkaran. Bahkan manusia terkadang merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan.”
2. William James : “ Perbuatan manusia lebih terikat kepada naluri agamanya dibanding kepada perhitungan materialnya. Kita melihat manusia memiliki sifat ketulusan, keikhlasan, kerinduan, keramahan, kecintaan dan pengorbanan, semua itu adalah dorongan keagamaan yang tidak terlepas dari sifat semua manusia.”
Kembali untuk menjawab pertanyaan "mengapa manusia
mesti beragama?" adalah kita kembalikan kepada tujuan penciptaan manusia, yakni
adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah
sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya,
juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut
diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga
Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai
Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka. Beribadah diartikan
secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada
Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju
kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam
kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang
mengatur ibadah ritual belaka.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan
mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah
membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian
manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan
agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2)
harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu
tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup
besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk
dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk
keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan
hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah
Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk
mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah)
yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat
dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan
manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna,
dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
D. REFERENSI
1.
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
2.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
3.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998.
4. Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy-e Aqa`ed.
5. Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Ushūlul 'Aqā`id fil
Islam.
6. Allamah Muhammad Taqi Ja'fari, Falsafe-ye Din.
7. Ayatullah Ja'far Subhani, Al-Ilāhiyyāt.
8. Tafsir Al-Mīzān.
9. http://catatanlamasaya.blogspot.com/
10. http://filsafat.kompasiana.com/
11. http://www.angelfire.com/id/
12. http://www.al-shia.org/html/id/
13. http://adidulur.abatasa.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar