Senin, 18 Februari 2013

Hukum Puasa Hari Arafah dan Tarwiyah

Puasa Arafah (9 Dzulhijjah)

Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan Dzulhijjah, sedangkan puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Dzulhijjah. Puasa sunnah itu berdasarkan dalil berikut :
Dari Abi Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya. (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizy)


Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjjah) ini disepakati sunnah bagi yang tidak menunaikan haji. Sedangkan bagi yang wukuf di Arafah hukumnya diperselisihkan dikarenakan dalil yang melarang puasa bagi jamaah haji yang wukuf dipermasalahkan.
1. Haram Puasa Bagi Yang Wukuf
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.” (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya. Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata: Ibnu Khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
2. Boleh Berpuasa Meski Wukuf
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi Bukhari dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan: Berkata Al Hakim: “Sesuai syarat Bukhari,” mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti karena kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431)  Lalu,  Mahdi Al Muharibi – dia adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata: Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: Isnadnya dhaif, karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia (Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban adalah imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At Talkhish Al Habir,  2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa A’rifuhu – saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Dalam isnadnya ada yang perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang shahih larangan berpuasa pada hari  ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. Oleh karenanya Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada hari ini ( 9 Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.

Rasulullah Wukuf dan Tidak Berpuasa Arafah

Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu dikirimkan kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan: Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad yang baik, bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari ‘Arafah ketika berada di sana, dan tidak ada yang shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika mereka di ‘Arafah. Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut: Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari ‘Arafah ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang di ‘Arafah tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa  ketika sedang di ‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu, kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah melakukannya, tetapi juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di ‘Arafah.
 سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم يصمه وحججت مع أبي بكر فلم يصمه وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا أمر به ولا أنهى عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau  tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia juga tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan tidak melarangnya.” (Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim Asad berkata: isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa ‘Arafah bagi jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya lemah. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu,  3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak dianjurkan mereka berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat berdoa: Ada pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari ‘Arafah, tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. (Ibid, 3/24) Jadi, menurutnya “tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak boleh.

Pendapat Empat Mazhab: Makruh Puasa Arafah Bagi yang Wukuf

  1. Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat lemah, begitu juga puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).
  2. Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula puasa tarwiyah.
  3. Syafi’iyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke ‘Arafah siang hari maka  puasanya itu  menyelisihi hal yang lebih utama, jika pergi ke ‘Arafah malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk berbuka.
  4. Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari ‘Arafah jika wuqufnya malam,  bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh berpuasa.

Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah)

Puasa khusus tanggal 8 Dzulhijjah sebenarnya tidak ada, yang ada adalah dalil puasa 8 hari bulan Dzulhijjah. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Dari Hafshah Radhiyallahu ‘Anha berkata,“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: [1] Puasa hari Asyura, [2] Puasa 1-8 Dzulhijjah, [3] tiga hari tiap bulan, dan [4] dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Menurut Syaikh Musthafa Al Adawi, ada dua hadits berkenaan dengan puasa 10 hari di awal Dzulhijjah secara khusus:
  1. Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha yang dikeluarkan oleh Muslim yang redaksinya, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah berpuasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
  2. Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur seorang rawi yang bernama Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya dari Hafshah ia berkata, “Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam: (diantaranya): puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” 
Menurutnya, pernyataan  Hunaidah pada riwayat ini diperselisihkan oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya, dari Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu Salamah secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari bentuk-bentuk yang berbeda!”
Dari sisi keabsahan, maka yang unggul –Wallahu Subhânahu wa Ta’ala A’lam- bahwa hadits ‘Aisyah yang terdapat di dalam shahîh Muslim adalah lebih shahîh, sekalipun padanya terdapat bentuk perselisihan dari Al A’masy dan Manshûr.
Namun diantara ulama ada yang mencoba mengkompromikan dua hadits tersebut yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing dari istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang ia saksikan dari beliau, bagi yang tidak menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang menyaksikan menetapkan keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri menggilir setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu malam. Maka atas dasar ini dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa dan terkadang tidak berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun lalu tidak berpuasa beberapa tahun (berikutnya) ada benarnya, maka manapun dari dua pendapat tersebut diamalkan maka ia telah memiliki salaf (pendahulu).”

Menghapuskan Pahala Satu Tahun?

Terdapat hadits yang diriwayatkan Imam Ad Dailami:
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.”
Akan tetapi hadits ini statusnya maudhu’ atau palsu.
Ustadz Farid Nu’man Hasan mengatakan, “Hadits puasa tarwiyah memang tidak bisa dijadikan hujjah, oleh karenanya jangann berdalil dengannya. Tetapi jika ada yang ingin berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah dengan alasan hadits;
“Tidak ada amal yang lebih afdhal dibanding amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari No. 969)
Imam Ibnu Katsir mengatakan maksud dari “pada hari-hari ini” adalah sepuluh hari Dzulhijjah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath Thanthawi,  Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir)
Maka, tidak apa-apa puasa tanggal 8 tersebut krn dia bagian dari cara amal shalih yg bisa kita lakukan selama 10 hari dzulhijjah, dan sebagusnya dilanjutkan dgn puasa ‘Arafahnya, agar puasa pada hari tarwiyah itu tidak menyendiri.”

Redaktur: Shabra Syatila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar