oleh Muhamad Shiroth, Imam Hartojo, dan Reza Nursadewo
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan, kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya kepada alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:
"… Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia
(pula yang) memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi." (QS 25:2)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
Sifat yang kedua adalah tetap, tidak berubah-ubah:
"… Tidak ada yang sanggup menggubah
kalimat-kalimat Allah." (QS 6:115)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
"…, bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS 21:105)
Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang
(kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai
khalifah. Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa
potensi seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan
alam semesta serta mengurus bumi ini.
"Dia telah mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda) seluruhnya …" (QS 2:31)
Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya, manusia akan mampu mengelola dan memanfaatkan alam
semesta serta bumi ini untuk kepentingan manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat
tersebut manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah mengikuti dan mematuhi
pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi dan rasul yang termuat dalam
ajaran agama.
"… Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti
itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179)
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas
(QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi
Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki
potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan
mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rsa tanggung jawab atas segala
perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia
mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air
yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur [9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan
kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air mani), empat puluh
hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula sebagai mudhghah (segumpal daging).
Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada dalam
rahim itu" (HR Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya
mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan
(kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan
(lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang
tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk
memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di
sisi Allah hanyalah Islam …" (QS 3:19)
Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup dan kehidupannya berjalan melalui lima tahap: (1)
alam gaib, (2) alam rahim, (3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5) alam akherat.
Dari kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di dunia merupakan tahap yang
menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga manusia dikaruniai Allah dengan berbagai
alat perlengkapan dan bekal agar dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi,
serta pedoman agar selamat sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal
di akherat nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang
telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21)
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana oleh-Nya,
diberi bumi yang tunggal dan beribadah pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban,
karenanya Allah meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat
terhindar dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi
agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama
adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas
sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Refferensi: Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan, kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya kepada alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah:
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok hewan selama manusia mempergunakan
akal dan karunia Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai
potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa, raga,
serta pancaindera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan:
- Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang
paling sempurna.
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4) - Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada
Allah.
"… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ " (QS 7:172) - Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS 51:56) - Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS 2:30) - Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
"Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29} - Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
"… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya." (QS 52:21) - Manusia itu berakhlak.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
- Manusia tidaklah sama (konsep hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
- Manusia mempunyai persamaan antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
- Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
- Manusia memiliki fenomena dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan pada dirinya untuk memilih.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna agama
dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia
dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama
artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi
menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi orang Eropa,
religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian
hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat
termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horisontal)."Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta.
Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga
menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui
nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul
tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya
kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia
dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan
sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Refferensi: Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar