- Pengertian Aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata (
عقد) yang berarti ikatan. Secara istilah adalah keyakinan hati atas
sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang
terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar
Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah
yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau menyimpang.
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah)
merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut
dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan
buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab r.a. yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.
- Kedudukan Aqidah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki
kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah
pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq,
adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa
pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa
bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap
saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka
barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka
hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ
وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan
sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa
jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan
hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di
atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam
dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah
dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan
nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup
panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu
tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan
ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti
menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau
landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya.
Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di
Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih
selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai
betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran
Islam.
SUMBER, METODE DAN CARA PENGAMBILAN AQIDAH ISLAM
- Sumber-sumber Aqidah Islam
Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi,
artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil
dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah
terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih
tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih
tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.
- Metode Memahami Aqidah Islam dari Sumber-sumbernya Menurut Para Shahabat
Generasi para shahabat adalah generasi
yang dinyatakan oleh Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin.
Kebaikan mereka terletak pada pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas
ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Hal ini tidak
mengherankan, karena mereka adalah generasi awal yang menyaksikan
langsung turunnya wahyu, dan mereka mendapat pengajaran dan pendidikan
langsung dari Rasulullah saw. Setelah generasi shahabat, kualifikasi
atau derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan oleh generasi
berikutnya dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi
tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai
generasi salaf. Rasulullah bersabda tentang mereka,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ…
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Generasi salaf yang shalih (al-salaf al-shalih)
mengambil pemahaman aqidah dari al-Quran dan sunnah dengan metode
mengimani atau meyakini semua yang diinformasikan (ditunjukkan) oleh
kedua sumber tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam
kedua sumber itu, mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan
diri dengan kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu
pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau keyakinan.
Dengan metode di atas, maka para
shahabat, dan generasi berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik
(ihsan), mereka beraqidah dengan aqidah yang sama. Di kalangan mereka
tidak terjadi perselisihan dalam masalah aqidah. Kalau pun ada
perbedaan, maka perbedaan di kalangan mereka hanyalah dalam masalah
hukum yang bersifat cabang (furu’iyyah) saja, bukan dalam masalah-masalah yang pokok (ushuliyyah).
Seperti ini pula keadaan yang terjadi di kalangan para imam madzhab
yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah (th. 699-767 M), Imam Malik (tahun
712-797), Imam Syafi’i (tahun 767-820), dan Imam Ahmad (tahun 780-855
M).
Karena itulah, maka mereka dipersaksikan oleh Rasulullah saw sebagai golongan yang selamat, sebagaimana sabda beliau,
قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
Artinya: “Mereka
(golongan yang selamat) adalah orang-orang yang berada di atas suatu
prinsip seperti halnya saya dan para shahabat saya telah berjalan di
atasnya.” (H.R. Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar