Senin, 25 Februari 2013

Aqidah Islamiyah

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69)

Pendahuluan
Nilai suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?
Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139)) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul. Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik yang merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.
Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan kepada takdir Allah baik dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.
Dalam syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama : Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas. Kedua : Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang pertama. Makanya syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : Ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW tertolak atau mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia, umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi dua kriteria itu. Inilah makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi 110 yang artinya : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Perkembangan Aqidah
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"
Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.
Bahaya Penyimpangan Pada Aqidah
Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :
  1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
  2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."
  3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
  4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
  5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.
  6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).
Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
  1. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.
Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah
Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan tindakannya yang akan menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan merupakan keserasian antara ruh dan jasad, antara siang dan malam, antara bumi dan langit dan antara ibadah dan adat serta antara dunia dan akherat. Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah :
  1. Membebaskan dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
  2. Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka.
  3. Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).
  4. Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridho terhadap segala ketentuan Allah.
  5. Aqidah Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.

Senin, 18 Februari 2013

Akhlak muslim sejati

Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu umat yang bisa bangkit dan tegak, maju dan cemerlang peradabannya, adalah karena pribadi-pribadi mereka memiliki jiwa yang kuat, tekad yang bulat, cita-cita yang luhur, akhlak yang terpuji, perjalanan hidup yang mulia, saling berhubungan dengan erat di antara mereka dan keluarga mereka. Mereka menjauhi hal-hal yang merusak, perbuatan-perbuatan hina dan buruk, tidak melampiaskan nafsu mereka dalam segala kelezatan dan syahwat, jauh dari kejahilan dan penyimpangan.

Akhlak mulia merupakan salah satu asas terpenting dalam ajaran Islam untuk membina pribadi dan memperbaiki masyarakat. Karena keselamatan masyarakat, kekuatan, kemuliaan, dan kewibawaan pribadi-pribadinya sangat tergantung pada sejauh mana mereka berpegang dengan akhlak mulia tersebut. Dan masyarakat akan hancur dan rusak tatkala mereka meninggalkan dan menjauhi akhlak yang terpuji.

Allah telah memberikan Islam berbagai keistimewaan tersendiri yang menakjubkan, seperti ajarannya yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, sifat wasathiyyah yaitu tengah-tengah antara sifat ifrath (ghuluw/berlebihan) dan sifat tafrith (lalai dan meremehkan), serta senantiasa aktual dan sesuai untuk setiap waktu dan tempat. Maka dengan karunia Allah, Islam menjadi petunjuk dan pembimbing bagi manusia, petunjuk menuju jalan kebahagiaan, kebaikan, kegembiraan dan kesenangan di dunia dan akhirat.

Dan kita dapati semua itu dalam ajaran Islam, karena Islam mengarahkan setiap pribadi manusia untuk membina fisik dan jiwanya secara sempurna dan seimbang, tidak timpang pada salah satunya. Islam menyeru agar mereka berpegang dengan akhlak mulia dan mendakwahkannya, dan agar mereka meninggalkan serta menjauhi segala akhlak yang buruk.

Ajaran akhlak yang mulia ini telah diperlihatkan oleh suri teladan umat ini yaitu Rasulullah yang telah disifati oleh Allah dengan firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlak yang mulia" (QS. Al Qalam: 4)

Sa'ad bin Hisyam pernah bertanya kepada 'Aisyah rodhiAllahu 'anha tentang akhlak Rasulullah, maka 'Aisyah rodhiAllahu 'anha menjawab, "Akhlak beliau adalah Al Quran." Lalu Sa'ad berkata,

"Sungguh saya ingin berdiri dan tidak lagi menanyakan sesuatu yang lain." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, Rasulullah merupakan sosok pribadi yang paling bagus akhlaknya seperti yang disaksikan oleh Anas bin Malik pembantu Rasulullah selama sepuluh tahun-ketika beliau berkata;

"Rasulullah adalah orang yang paling bagus akhlaknya." (HR. Muslim)

Maka pantaslah Rasulullah menjadi suri teladan bagi kita dalam segala aspek kehidupan beliau shollAllahu 'alaihi wa sallam seperti yang telah diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya :

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pertemuan dengan) Allah dan (keselamatan di) hari akhir dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab: 21)

Dan Rasulullah sendiri telah memotivasi umatnya yang beriman untuk berpegang teguh dengan akhlak yang bagus dan menjauhi akhlak yang buruk, seperti dalam sabda-sabda beliau berikut ini:
Dari Abu Darda' bahwa Nabi bersabda:

((ما من شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم القيامة من حسن الخلق، وإن الله تعالى ليبغض الفاحش البذيء))
"Tiada suatu perkara yang paling memberatkan timbangan (kebaikan) seorang mukmin pada hari kiamat selain daripada akhlaq mulia, dan sesungguhnya Allah amat benci kepada seorang yang buruk perbuatan dan ucapannya" (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh al Albani)

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau menjawab,

تقوى الله وحسن الخلق
"Bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia" Sementara ketika ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab,
الفم والفرج
"Mulut dan kemaluan" (HR. Tirmidzi dan dihasankan sanadnya oleh Syaikh Albani)

Dan Rasulullah menjelaskan bahwa mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling sempurna akhlaknya, seperti yang beliau sabdakan,

إن أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا، وخياركم خياركم لنسائهم
"Sesungguhnya mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling bagus akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya"(HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)

Bahkan Rasulullah telah menjadikan orang-orang yang berakhlak mulia sebagai orang-orang yang paling dekat duduknya dengan Rasulullah sebagaimana dalam sabdanya :

إن من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحسنكم أخلاقا، وإن أبغضكم إلي وأبعدكم مني مجلسا يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون، قالوا: يا رسول الله، قد علمنا الثرثارون والمتشدقون فما المتفيهقون؟ قال: المتكبرون
"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya dariku pada hari kiamat adalah tsartsarun (yang banyak bicara), mutasyaddiqun (yang bicara sembarangan lagi mencela manusia) dan mutafaihiqun.” Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui tsartsarun dan mutasyaddiqun, tapi siapakah mutafaihiqun itu?" Rasulullah menjawab, "Mutakabbirun" (orang-orang yang sombong)." (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Albani)

Namun, problem yang amat jelas kita lihat di dunia Islam sekarang yaitu bahwa umat Islam telah meninggalkan akhlak mulia yang diseru oleh agama mereka sendiri yang bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah.

Kita melihat bahwa agama Islam berada di suatu tempat dan kaum muslimin berada di tempat lain yang berjauhan. Seorang muslim hanya membawa Islam pada nama dan KTP-nya saja. Tetapi dalam praktek keseharian, muamalah dan seluk beluknya tidak didapati nilai-nilai ajaran Islam yang mulia tersebut.

Arahan-arahan Islam tidak berlaku, norma-normanya tidak memiliki tempat, dan kaidah-kaidah Islam tidak lagi terhormat dalam diri mereka. Demikianlah kenyataan yang memilukan yang menimpa umat Islam, yang semakin hari sepertinya semakin jauh dan lalai dari mempraktekkan nilai-nilai agama mereka yang mulia, sehingga pantas pula jika umat Islam mengalami berbagai bencana hari demi harinya, kekalahan-kekalahan di setiap tempat mereka, serta ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Umat Islam sepertinya tidak lagi memiliki 'izzah (kemuliaan dan kewibawaan) yang dapat membuat umat-umat lain segan kepada mereka. Itu semua karena umat Islam tidak berpegang teguh dengan nilai-nilai ajaran agama mereka. Benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khaththab,

إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العز بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله
"Kita dahulu adalah kaum yang terhina lalu Allah memuliakan kita dengan Islam, maka jika kita mencari kemuliaan dengan selainnya niscaya Allah akan menghinakan kita"

(HR. Hakim dan ia berkata, "Shahih sesuai syarat/standar Bukhari dan Muslim”, dan disahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib)

Dan kaum muslimin akan tetap berada dalam kehinaan selama mereka meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang agung lagi mulia dan cenderung mengikuti hawa nafsu dalam meraih kemewahan dunia sampai mereka mau kembali kepada agama mereka.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
((إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينـزعه حتى ترجعوا إلى دينكم))
"Apabila kalian berjual beli dengan 'inah (riba), memegangi ekor-ekor sapi dan senang dengan cocok tanam (yakni lebih condong kepada kesenangan dunia), serta meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan Allah cabut sampai kalian mau kembali kepada agama kalian."

(HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Syaikh Albani)
Maka sudah saatnya bagi kaum muslimin untuk bangkit dengan kembali kepada ajaran-ajaran agama mereka yaitu Islam yang lurus, agar mereka dapat kembali memperoleh 'izzah (kemuliaan dan kewibawaan) seperti yang telah diraih oleh pendahulu mereka Salafus Shalih sehingga mereka akan menjadi umat yang kuat dan kokoh yang disegani oleh umat-umat lainnya. Tentunya yang paling penting adalah menggali kembali nilai-nilai mulia Islam tersebut dengan mempelajari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta sirah kehidupan Salafus Shalih yang telah mewariskan jejak-jejak mulia yang harus kita telusuri dan ikuti, di antaranya adalah warisan akhlak yang baik dan mulia. WAllahul Muwaffiq. (Dari Tauthi'ah pentahkiq kitab Makarimul Akhlaq karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan perubahan-).

DEFINISI AKHLAQ

Akhlaq (أَخْلاَقٌ) menurut etimologi bahasa Arab adalah bentuk jamak dari khuluq (خُلُقٌ) yang di antaranya berarti jalan hidup/adat kebiasaan, tabiat dan perangai.
(Ibnul Atsir dalam Gharibul Hadits). (Dari Ridalah Min Akhlaq ar Rasul al Karim hal. 20 Syaikh Abdul Muhsin al Abbad).
Sedangkan menurut istilah ia mengandung dua makna, salah satunya lebih umum dari yang lain, yaitu:

Sifat yang tertanam dengan kokoh dalam setiap jiwa, baik yang terpuji maupun tercela.

(Min Akhlaq ar Rasul al Karim hal. 20 Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad) atau dengan ungkapan lain yaitu: Gambaran batin yang telah ditabiatkan kepada manusia. (Kitabull Ilmi hal. 256 Syaikh Ibnu Utsaimin).

Sifat yang berwujud sikap berpegang teguh kepada hukum-hukum dan adab-adab syariat, baik berupa perintah yang harus/perlu dikerjakan atau larangan yang harus/perlu ditinggalkan.

(Min Akhlaq ar Rasul al Karim hal. 20 Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad) atau dengan kata lain bahwa jenis kedua ini dapat dihasilkan dengan usaha dan latihan yang diupayakan oleh manusia. (Kitabul Ilmi hal. 256 Syaikh Ibnu Utsaimin).
Jadi, akhlak itu ada yang berupa tabiat dan perangai yang telah ditanamkan oleh Allah pada setiap jiwa manusia dan bersifat umum, meliputi perangai yang terpuji dan tercela.
Dan ada pula yang berupa sifat yang diusahakan dengan mempelajari dan berpegang teguh kepada hukum-hukum dan adab-adab syariat dan ini lebih khusus dari yang pertama
Contoh jenis pertama adalah seperti apa yang dikatakan Nabi kepada Asyaj Abdul Qais,
إن فيك لخلقين يحبهما الله: الحلم والأناة، فقال: أخلقين تخلقت بهما ؟ أم خلقين جبلت عليهما ؟ فقال: ((بل خلقان جبلت عليهما))، فقال: الحمد لله الذي جبلني على خلقين يحبهما الله تعالى.
"Sesungguhnya ada pada dirimu dua perangai yang disukai oleh Allah yaitu santun dan hati-hati (tidak tergesa-gesa)." Asyaj berkata, "Apakah dua perangai tersebut adalah yang kuupayakan atau yang ditabiatkan kepadaku?" Nabi menjawab, "Dua perangai yang telah ditabiatkan kepadamu." Maka Asyaj pun berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menabiatkan dua perangai yang Allah sukai."
(HR. Abu Daud dengan lafaz yang mendekati- dan lafal ini dinukil dari Syarah al Aqidah ath Thahawiyah serta disahihkan oleh Syaikh Albani.

Dan bagian pertama asalnya ada dalam Shahih Muslim juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan selainnya). (Min Akhlaq ar Rasul al Karim hal. 256).
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil yang menunjukkan adanya akhlak terpuji yang berupa tabiat asal yang diberikan oleh Allah kepada diri seseorang dan ada yang diupayakan. Dan bahwa yang merupakan tabiat itu lebih utama daripada yang diupayakan. (Kitabul Ilmi 256).
Adapun contoh jenis kedua adalah apa yang terisyaratkan dalam sabda beliau,
البر حسن الخلق
"Kebaikan itu (terletak pada) akhlak yang bagus/mulia" (HR. Muslim)
Dan seperti dalam jawaban 'Aisyah rodhiAllahu 'anha ketika menafsirkan firman Allah,
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Ia menjawab, "Akhlaknya (Rasulullah) adalah Al Quran" (HR. Muslim) (Min Akhlaq ar Rasul al Karim hal. 21).
Dan tentunya yang kita bahas adalah akhlaq yang terpuji.

Akhlak Sesama Muslim

Akhlak Sesama Muslim

 Akhlak Kepada Sesama Muslim

Tujuan instruksional
Membentuk pribadi yang memiliki sifat matinul khuluq ( Akhlak yang kuat).
Mengetahui berbagai akhlak yang diajarkan oleh Syariat Islam.
Mengetahui pentingnya akhlak Islami.
Mengetahui berbagai adab dan hal-hal yang perlu diketahui dalam pergaulan.

Metode pembelajaran
Ilustrasi
Materi
Tausyiah
Games
Diskusi

ILUSTRASI
PENGHUNI SURGA

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad hasan dan oleh Nasa’i dari Anas bin Malik r.a. :
Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw., bersabdalah beliau, “Atas dirimu semua kini datang seorang dari penghuni surga. Waktu itu muncul seorang Anshar dengan jenggot sedikit basah bekas air wudhu, sambil menjinjing kedua sandalnya dengan tangan kirinya. Esok harinya Nabi saw. kembali berkata demikian, dan muncul pula orang tersebut seperti saat pertama ia muncul. Ketika pada hari ketiga Nabi berkata seperti itu lagi, muncul pula lelaki itu seperti sebelumnya.
Tatkala Nabi saw. berdiri, Abdullah bin Amru bin Ash segera mengikuti lelaki itu dan berkata kepadanya,” Sesungguhnya saya telah bertengkar dengan bapak saya dan bersumpah tidak akan mendatanginya selama tiga hari. Seandainya akhi (saudara) mengizinkan saya tinggal di rumah akhi selama tiga hari itu, niscaya aku akan ikut akhi pulang.”Lelaki itu menjawab,” ya, silakan.” Kemudian Abdullah menceritakan bahwa selama tiga hari tinggal bersamanya, tak sekalipun ia melihat lelaki itu melakukan shalat malam, kecuali setiap lelaki itu berbalik dalam tidurnya dia menyebut nama Allah dan bertakbir hingga terbangun untuk melakukan shalat shubuh. Abdullah menambahkan, “Hanya saja saya tidak mendengarnya berkata selain dengan perkataan yang baik. Lewatlah sudah tiga malam, dan saya pun hampir meremehkan amalnya.
Kemudian kukatakan kepadanya, “Wahai hamba Allah, sebenarnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan bapakku, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw mengatakan tentangmu tiga kali dengan ucapan, ‘sekarang akan muncul seorang lelaki dari penghuni surga’, selama tiga kali itu pula kau muncul, karena itu aku berusaha menginap di rumahmu untuk melihat apa yang engkau lakukan sehingga saya bisa mencontohmu, namun aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang besar, lalu apa sebabnya engkau bisa mencapai derajat seperti yang dikatakan Rasulullah tersebut?” laki-laki itu menjawab, “Tidak ada yang saya kerjakan selain apa yang telah kauperhatikan.”
Kata Abdullah, ketika dia berpaling meninggalkannya, lelaki itu memanggilnya seraya berkata, “Tidak ada yang saya kerjakan selain apa yang telah kauperhatikan, tetapi tidak tersimpan sedikitpun dalam hatiku keinginan untuk menipu seorangpun dari kaum muslimin atau menaruh dengki padanya atas kebaikan yang dikaruniakan Allah kepadanya. Kemudian Abdullah berkata, “Inikah yang telah mengangkat derajatmu setinggi itu?!”
MATERI

Materi ini menekankan akhlak terhadap sesama muslim, yaitu memenuhi hak dan adab kaum muslimin. Menunaikan hak dan adab sesama muslim merupakan ibadah kepada Allah dan sebagai cara mendekatkan diri kepada-Nya, karena hak dan kewajiban tersebut telah diwajibkan Allah kepada kaum muslimin.

Dengan mengetahui Akhlak terhadap sesama muslim maka akan terbentuklah pribadi-pribadi yang mempunyai sifat matinul khuluq ( 3 : 11,12,13,16,17)

Pentingnya akhlak Islami
Akhlak ialah salah satu faktor yang menentukan derajat ke-islaman dan keimanan seseorang. Akhlak yang baik adalah cerminan baiknya akidah dan syariah yang diyakini seseorang. Buruknya akhlak merupakan indikasi buruknya pemahaman seseorang terhadap akidah dan syariah.” Paling sempurna orang mukmin imannya adalah yang paling luhur akidahnya.”(H.R. Tirmidzi)
“Sesungguhnya kekejian dan perbuatan keji itu sedikitpun bukan dari Islam dan sesungguhnya sebaik-baik keislaman manusia adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. Thabrani, Ahmad dan Abu Ya’la)
“Hai Abu Dzar, maukah kutunjukkan dua perkara yang sangat ringan dipikul dan lebih berat timbangan daripada perkara-perkara lainnya?”Abu Dzar menjawab,”Mau ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Engkau harus berakhlak luhur dan banyak berdiam mulut (tidak banyak bicara). Maka demi Allah yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, tidak ada yang lebih indah dari manusia-manusia ciptaan-Nya daripada mereka yang mengerjakan kedua perkara tersebut.”(H.R. Tabrani dan Abu Ya’la)
Akhlak adalah buah ibadah.
“Sesungguhnya shalat itu mencegah orang melakukan perbuatan keji dan mungkar.” (Q.S. 29:45)

Keluhuran akhlak merupakan amal terberat hamba di akhirat.
“Tidak ada yang lebih berat timbangan seorang hamba pada hari kiamat melebihi keluhuran akhlaknya.”(H.R. Abu Daud dan At Tirmizi)
Akhlak merupakan lambang kualitas seorang manusia, masyarakat, umat karena itulah akhlak pulalah yang menentukan eksistensi seoran muslim sebagai makhluk Allah swt.
“Sesungguhnya termasuk insan pilihan diantara kalian adalah yang terbaik akhlaknya.”(Muttafaq’alaih)
“Seburuk-buruk umatku adalah orang yang banyak omong, bermulut besar dan berlagak pandai. Dan sebaik-baik umatku adalah mereka yang paling baik akhlaknya.”(H.R. Bukhari)

Adapun akhlak yang berhubungan dengan sesama muslim diajarkan oleh syariat Islam sebagai berikut:
Memenuhi janji ( al Isra : 34, an Nahl : 91, Al Maidah :1, As Shaff : 2-3)
Menghubungkan tali persaudaraan (An Nisa : 36, )
Dari Anas ra. bahwa Rasulullah bersabda: “Siapa yang ingin dilapangkan untuknya rizkinya dan diakhirkan untuknya dalam ajalnya maka hendaklah menyambung tali silaturahimnya.” ( HR.Bukhari-Muslim)
Dari ‘Aisyah ra. dia berkata “Rahim itu digantung diatas ‘Arsy, dia berkata: “Siapa yang menyambungku maka Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutusku maka Allah akan memutusnya.” (HR.Bukhari-Muslim)
Waspada dan menjaga keselamatan bersama (Al Maidah : 2, Al Asr:1-3)
Berlomba mencapai kebaikan (Al Baqoroh: 148, Ali Imron : 133)
Bersikap adil (an Nahl : 90, Al Hujurut : 9)
Tidak boleh mencela dan menghina (Al Hujurat : 11, Al Humazah : 1 )
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah berkata:”Cukuplah kejelekan seseorang jika menghina saudaranya sesama.” (HR.Muslim)
Tidak bolaeh bermarahan (Al Qalam : 4, Ali ‘Imron : 134)
Menjaga rahasia (Al Isra : 34)
Mengutamakan orang lain (Al Hasyr : 9, Al Insan : 8)
Saling memberi hadiah.
“ Hendaklah kalian saling memberi hadiah pasti kalian saling mencintai.” (HR.Al Baihaqi)

Adab Muslim Dalam Berbicara

Kesanggupan menjelaskan apa yang terkandung di dalam pikiran dan perasaan, merupakan nikmat terbesar yang dilimpahkan Allah SWT kepada manusia. (Ar Rahman : 1-4).
Mengenai pembicaraan Islam amat mewanti-wanti supaya dijaga baik-baik. Demikian dengan cara berbicara. Sebab pembicaraan yang keluar dari mulut seseorang menunjukkan apa yang ada dipikirannya dan menunjukkan tabiat serta perangainya.
Abdullah bin Abbas r.a mengatakan : ”Ada lima perkara yang lebih baik bagi mereka daripada kuda gersit yang dibiarkan diam,
Pertama, janganlah engkau berbicara tentang sesuatu yang tidak mengenai dirimu, karena itu adalah pembicaraan berlebihan yang tidak perlu, dan aku tidak akan menjamin engkau akan selamat dari dosa.........!
Kedua, janganlah engkau berbicara tentang sesuatu sebelum engkau mengetahui saatnya yang tepat, sebab mungkin sekali orang berbicara tentang sesuatu yang penting baginya, tetapi karena dilakukan di waktu yang tidak tepat maka akan menimbulkan hal-hal yang memalukan.
Ketiga, janganlah engkau berdebat dengan orang yang sabar dan bijaksana atau dengan orang yang berperangai buruk, sebab orang yang sabar tidak akan menghiraukanmu dan orang yang berperangai buruk akan menyakiti hatimu
Keempat, ceritakanlah saudaramu yang tidak hadir dengan apa yang ingin diceritakan olehnya, dan maafkanlah dia seperti engkau sendiri ingin memaafkannya.
Kelima, bertaubatlah kalian seperti orang-orang yang benar-benar sadar bahwa perbuatan itu akan mendatangkan kebajikan dan tidak akan mendatangkan dosa atau kesalahan.”

Menjauhkan diri dari omong kosong termasuk cara untuk memperoleh keberuntungan dan tanda-tanda kesempurnaan perangai seseorang. Oleh Al Quran hal itu disebutkan diantara dua kewajiban pokok yang diperintah Islam yakni shalat dan zakat (Al Mu’minuun: 1-4). Bila orang hendak berbicara, hendaknya berbicara yang baik dan hendaknya membiasakan lidahnya mengucapkan kata-kata yang baik. Mengungkapkan isi hati dengan cara yang baik merupakan tata krama yang sangat tinggi. Hal ini telah ditetapkan Allah bagi setiap orang yang beragama. Allah berfirman dalam Al Baqoroh : 63.

Adab Muslim Dalam Penglihatan
“Tiga mata yang tidak akan dijilat api neraka: mata terpejam akan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, mata yang terjaga djalan Allah(ribath), dan mata yang menangis karena takut pada Allah”(QS.17:104).
“Hendaklah kalian menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan atau (jika kalian tidak melakukannya )niscaya \Allah akan menggelapkan wajah-wajah kalian. “(HR.Bukhari).

Adab Muslim Dalam Pendengaran
“Jika mendengar sesuatu yang tidak bermanfaat hendaklah berpaling darinya”(QS.Al Qoshash:55)

Menjaga Tangan dan Kaki
Senantiasa mendahulukan bagian yang kanan dalam berpakaian, memakai sendal, menyisir rambut, dan perbuatan baik.


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pergaulan :

Melempar senyum,mengucapkan dan menjawab salam, menyapa “pa kabar akhi/ukhti!!”:-)
Senyum.......
Mengucapkan itu sunnah dan menjawab salam itu wajib. Barangsipa yang biasa menyebarkan salam maka akan timbul kasih sayang dan dimudahkan masuk ke surga. Rasulullah bersabda : “Kamu tidak akan masuk surga hingga kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman hingga kamu mencintai diantara kamu. Sukakah saya tunjukkan sesuatu yang jika kamu kerjakan akan timbul saling cinta diantara kamu. Sebarkanlah salam diantara kalian.” ( HR.Muslim)
Sapa......



Berjabat tangan.
Rasulullah mengajarkan bahwa untuk lebuh menyempurnakan salam dan menguatkan tali ukhuwah Islamiyyah, sebaiknya ucapan salam diikuti dengan berjabat tangan, jika memungkinkan. Rasulullah SAW bersabda : “ Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa keduanya sebelum mereka berpisah” ( HR. Abu Dawud dan Tarmidzi)
Anjuran untuk berjabat tangan tidak berlaku untuk pria dan wanita, keculai antara suami dan istri atau seseorang dengan mahram. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, dia berkata :”Demi Allah Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanitapun (yang bukan mahram dan bukan pula istri beliau) bila membaiat kaum wanita beliau hanya membaiatnya dengan lisannya saja.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Lebih tegas lagi Rasulullah SAW bersabda:” Sungguh jika kepala seseorang di antara kamu ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik bagi dia, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Salah satu hikmah dengan adanya larangan tersebut adalah sebagai tindakan preventif dari perbuatan yang lebih besar dosanya, yaitu perzinaan. Bersentuhan walaupun hanya sebatas tangan bisa menjadi pintu untuk memasuki kawasan yang lebih berbahaya lagi.

Khalwah.
Yang dimaksud dengan khalwah adalah berdua-duaan antara pria dan wanita yang tidak punya hubungan suami istri dan tidak pula mahram dan tanpa ada orang ketiga.
Rasulullah melarang khalwah karena munculnya syaitan sebagai pihak ketiga. Beliau bersabda “Janganlah berkhalwah dengan wanita, demi (Allah) yang diriku berada di genggaman-Nya tidaklah berkhalwah seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali syaitan akan masuk diantara keduanya.” (HR.Thabrani)
Allah juga memberikan peringatan khusus mengenai pandangan, yaitu dalam melihat lawan jenis, tidak melepaskan pandangan begitu saja tanpa kecuali. (An Nur : 24)

TAUSYIAH

Kita dicipta terlahir di dunia ini dididik untuk menjadi umat berakhlak. Kita selalu dituntun Allah dan RosulNya menjadi orang-orang yang mau berkorban dan memberi . Berkorban untuk memberi petunjuk pada orang lain, memberi untuk meringankan beban orang lain. Berusaha untuk menyampaikan kebaikan pada orang lain, meski harus membebani dan menyulitkan diri sendiri. Kita diajarkan untuk mau menebar kebaikan di mana saja.
Menjadi umat laksana lebah, hinggap di tempat yang paling baik dan menyebarkan yang baik dan bermanfaat. Itulah akhlak kita. Kita tidak diajarkan untuk seperti lalat, yang hinggap ditempat yang kotor, mengambil yang kotor dan menyebarkan kekotoran itu untuk merusak manusia.
Iman telah mendorong manusia untuk berbuat baik, meski secara kasat mata mungkin sia-sia bahkan bisa berupa beban dan kesulitan. Kebaikan harus diberikan pada siapa saja, kedzaliman harus dijauhkan dari siapa saja. Kita coba renungkan nikmatnya memberi tanpa mengharap balasan, berkorban tanpa meminta hadiah. Semua kebaikan hanya untuk mengharap ridho Allah SWT.
Janganlah kita mundur memberi pengorbanan untuk orang lain, jangan berhenti untuk melahirkan kebahagiaan bagi orang lain

Guru dan Islam Rahmatan lil ‘Aalamin

Mencari ilmu pengetahuan merupakan keweajiban setiap individu. Ilmu tidak melulu pelajaran yang diajarkan oleh guru dikelas, akan tetapi ilmu bisa dipelajari oleh siapa saja dan dimana saja. Akan tetapi saat ini ada kesan dari masyarakat untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Saking asyiknya dengan aktifitas mencari ilmu, akhirnya secara tidak sadar mereka melupakan aspek pendidikan yang sangat fundamental yaitu pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Diantara banyaknya permasalahan di Negara Indonesia hampir bisa di pastikan disebabkan oleh gagalnya pendidikan kita dalam proses character building.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup dengan sendirinya. Sejatinya, manusia memiliki hati nurani yang mana dengannya manusia dapat membedakan mana yang benar dan salah. Karena hidup bersama masyarakat luas, tentunya masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hak manusia yaitu mendapatkan informasi atau ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk meningkatkan kualitas dan daya pikirnya. Sedangkan kewajiban sebagai manusia yang pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT tidak lain yaitu menyembah_Nya. Dengan arti lain, manusia harus menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dalam segala aktifitas mencari ilmu.
Ketika manusia memiliki hasrat yang tinggi dalam mencari ilmu, pastinya ia mencari lembaga pendidikan yang memiliki corak yang pas dengan apa yang diinginkannya. Menuntut ilmu memang suatu kewajiban bagi setiap manusia yang mengaku dirinya menyembah Allah SWT. Untuk menciptakan kepribadian yang lebih baik perlu lembaga pendidikan yang berkualitas dari berbagai segi. Namun, lembaga pendidikan yang ada saat ini secara mayoritas belum bisa mengarah kesana.
Banyaknya tindakan korupsi, kekerasan, kenakalan remaja hampir bisa dipastikan disebabkan oleh nilai pendidikan yang diterimanya selama ini belum mampu membentuk kepribadian seseorang dengan baik.
Berbicara tentang perilaku manusia berarti bicara pula tentang akhlak. Dengan akhlak inilah kita bisa tahu apakah orang tersebut baik atau buruk perilakunya. Karena menyangkut kepribadian seseorang, kita tidak bisa membatasinya dengan dunia anak-anak saja, tapi termasuk juga orang tua dan juga masyarakat. Akhlak seseorang dalam lingkungan tertentu akan mampu mempengaruhi akhlak orang lainnya, oleh sebab itu harus ada semacam integrasi akhlak antara yang satu dengan yang lain.
Untuk memanusiakan manusia kita butuh pendidikan, sedangkan untuk mengetahui sukses tidaknya pendidikan kita bisa lihat akhlak anak didiknya sebagai hasil dari proses penddikan. Untuk itu, penulis ingin mengupas tentang peran guru dalam upaya membentuk akhlak manusia sebagai bentuk realisasi amanat Islam sebagai agama rohmatan lil ‘aalamin.
Guru dan Dimensi Afektif
Bangsa Indonesia sedang mengalami keterpurukan moral. Banyak kasus yang menjadi bukti bahwa penanaman akhlak telah gagal, kondisi seperti ini disebabkan minimnya cendekiawan yang cerdas dan berakhlak tinggi. Merosotnya moral siswa tergantung pada moral pendidik dan orang tua, begitu pula dengan masyarakat, rendahnya moral warga negara tentu sangat dipengaruhi oleh moral pemimpinnya, ibarat “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.
Guru adalah tenaga pendidik yang salah satu tugasnya yaitu menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (McLeod, 1989). Karena kewajibannya adalah menanamkan nilai-nilai ke dalam diri orang lain, maka guru tidak cukup disebut sebagai pengajar. Lebih dari itu, guru harus menjadi pendidik. Jika kata “mengajar” berarti mentransfer ilmu ke dalam diri anak didik. Maka “mendidik” memiliki makna selain mentransfer ilmu, juga mentransfer nilai-nilai (akhlak) positif ke dalam diri anak didik.
Untuk mendidik anak, seorang guru harus memiliki kepribadian, karena kepribadian merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pendidikan. Zakiah Daradjat (1982) menegaskan,“Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan Pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak”.
Dari penjelasan tersebut kita bisa tahu bahwa guru memiliki porsi lebih dalam membentuk kepribadian anak, tidak jarang peran guru mampu mengungguli peran orang tua. Namun, hal itu tidak bersifat mutlak, artinya bukan berarti hanya guru saja yang dituntut untuk memiliki akhlak baik. Orang tua justru harus lebih menuntut dirinya untuk memiliki kepribadian yang baik. Faktanya, orang tua seringkali menyalahkan guru ketika anaknya berperilaku buruk. Padahal seharusnya orang tualah yang lebih bertanggung jawab ketika anaknya memiliki akhlak yang kurang baik.
Mendidik anak bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama. Adnan, (2010) menggarisbawahi bahwa pendidikan mencakup tiga dimensi yaitu (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan , dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Dalam hubungannya dengan kajian ini, dimensi afektiflah yang pada hakekatnya tersirat amanat agama islam sebagai rohmatan lil ‘alamin. Dimensi afektif yang menitik beratkan pendidikan pada kualitas keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia harus disadari oleh semua guru ketika melakukan proses mengajar. Dengan demikian, pendidikan belum bisa dikatakan sukses apabila anak didik belum memiliki keimanan, ketaqwaan dan akhlak yang lebih baik.
Keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah adalah tiga komponen pokok akhlak seseorang yang saling bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Keimanan menunjukkan ia tunduk kepada perintah Allah SWT. Ketaqwaan sebagai derajat tertinggi manusia dimata Allah SWT yang bisa diraih dengan akhlakul karimah (akhlak terpuji). Untuk itu, seorang guru harus lebih memusatkan perhatiannya terhadap pendidikan ketiga komponen tersebut apabila ingin membentuk akhlak anak didiknya secara maksimal.
Islam, Rohmatan Lil ‘Alamin
Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia untuk menyampaikan agama rohmatan lil ‘alamin. Rosulullah SAW sebagai sosok pendidik yang professional seharusnya ditiru oleh para pendidik, hal ini dibuktikan beliau ketika menyebarkan Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang.
Kata Rohmat memiliki arti “kelembutan yang terpadu dengan rasa iba” (Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang.
Pendidikan yang disampaikan dengan kekerasan sudah tidak cocok lagi diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, pendidikan yang diajarkan dengan penuh kasih sayang -baik oleh guru maupun orang tua- terbukti mampu diterima di hati anak dari pada mendidik dengan kekerasan.
Dalam upaya membentuk akhlak anak, akan lebih baik apabila melakukan pendekatan kasih sayang. Sebab, hukuman fisik hanya akan membuat mental diri anak didik merasa tertekan dalam mencari ilmu. Jika anak merasa tertekan dan takut, yang akan terjadi justru kenakalan yang disengaja sebagai bentuk pelampiasan kejengkelan terhadap tindakan guru.
Dengan menanamkan nilai kesabaran, kasih sayang serta kejujuran maka dengan itu kepribadian seorang anak didik akan bisa dipupuk dengan harapan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu lebih berharga daripada sekedar pandai otaknya namun hatinya tidak tertata dengan baik. Bagaimanapun juga anak didik nantinya akan terjun ke masyarakat dan masyarakat akan menilai kepribadian seseorang terlebih dahulu daripada kecerdasaan pikirnya.
Banyaknya kekerasan merupakan salah satu dampak dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan akhlak. Agama islam jauh-jauh hari sudah menganjurkan supaya manusia bertindak dengan penuh kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Masalah kekerasan bukan hanya tugas guru, melainkan tugas seluruh elemen masyarakat yang harus turut menjaga dan meningkatkan mutu kepribadiannya.
Cinta damai, itulah nilai positif lainnya yang tersirat dari kalimat “rohmatan lil ‘aalamin”. Guru sebagai agen perubahan (agen of change) memiliki tugas yang amat besar diantaranya yaitu menyebarkan islam yang cinta damai. Kedamaian tidak akan terwujud apabila hanya segelintir orang yang melakukannya. Berawal dengan merubah pola pendidikan yang humanis dan memiliki akhlak yang baik, maka nilai-nilai kedamaian akan tersebar lebih luas.
Implementasi Akhlak
Sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar, “pendidikan akhlak bagi siswa bukan hanya tanggungjawab guru di sekolah, melainkan juga tanggungjawab semua pihak baik orang tua maupun masyarakat lainnya. Karena waktu siswa lebih banyak berada di rumah dan masyarakat dari pada di sekolah”.
Dari pernyataan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan akhlak adalah tugas masyarakat seutuhnya tanpa terkecuali. Untuk menanamkan akhlak yang luhur tentunya banyak hal yang harus diupayakan. Mulai dari segi keilmuan sampai pada bentuk aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan semakin meningkatnya kualitas pendidikan akhlak masyarakat akan mampu memajukan bangsa. Untuk itu, dalam penerapan pendidikan akhlak dibutuhkan pendekatan baru dalam pembelajaran, yaitu pendidikan yang terintegrasi dalam materi belajar. Selain itu juga dibutuhkan sinkronisasi antara kegiatan intra dan ekstrakurikuler bagi siswa.
Nilai pendidikan yang terintregasi yang mungkin bisa dilakukan oleh pihak guru bekerjasama dengan orang tua siswa yaitu dengan memfokuskan pendidikannya pada tiga hal yaitu olah pikir, olah dzikir dan olah raga. Untuk menanamkan ketiga hal tersebut perlu adanya upaya menyambung kembali educational networks yang mulai terputus. Pembentukan dan pendidikan akhlak tersebut, tidak akan berhasil selama antarlingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Keluarga sebagai al-madrosatul ulaa (sekolah yang pertama) harus segera diberdayakan. Sebagai wujud dari terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, pihak keluarga hendaknya menjadi sekolah kasih sayang atau tempat belajar yang penuh dengan kasih sayang dari anggota keluarga. Adapun pendidikan akhlak yang dilakukan oleh pihak sekolah hendaknya lebih menekankan pada aspek etika dan estetika serta penanaman moral kepada semua siswa.
Membangun moral anak bangsa melalui pendidikan akhlak mutlak diperlukan, apabila saat ini masih ada pihak yang belum menjadikan hal ini sebagai permasalahan serius maka hendaknya segera introspeksi sistem pendidikan yang dilaksanakan selama ini. Baik dari rumah tangga, sekolah dan masyarakat semuanya harus saling bersinergi. Dengan demikian, untuk mencapai bangsa yang berbudi luhur, beradab, dan berperadaban tinggi bukan lagi hal yang mustahil.
Dengan demikian, Untuk mewujudkaan pendidikan akhlak dalam rangka membangun peradaban bangsa tersebut harus dimulai dari pembentukan kepribadian orang tua, guru baru diikuti dengan mengarahkan anak didik untuk memiliki akhlak yang unggul, kemudian diimplementasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila pola tersebut dapat diwujudkan maka tinggal melengkapi dengan perangkat-perangkat yang mendukung terealisasinya pendidikan akhlak di Indonesia.
Melalui al-Qur`an dan Hadits, Allah SWT telah membuktikan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Semua kegiatan diperintahkan untuk melaksanakannya dengan penuh kasih sayang, begitupula dalam mendidik anak, islam memerintahkan untuk mendidik dengan penuh rasa kasih sayang sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw ketika mendidik keluarga dan umatnya, sama halnya dengan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika mendidik anaknya (Surat Luqman : 13). Maka kita sebagai umat Islam harus meneladani Nabi-Nabi dalam mendidik. Baik pendidikan itu berupa penyampaian materi dikelas, nasehat guru atau orang tua kepada anaknya, bahkan hukuman yang diberikan pun harus menunjukkan bahwa semuanya dilakukan dengan penuh kasih sayang dan demi kebaikannya.
Mungkin inilah solusi yang penulis tawarkan sebagai sumbangsih untuk memajukan bangsa melalui pendidikan akhlak. Jadi, apabila kita masih menginginkan terciptanya kehidupan yang cinta damai, alangkah baiknya apabila dimulai dari bidang pendidikan yaitu bersama-sama memaksimalkan pendidikan akhlak. Sebab bagaimanapun juga, awal mula kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh ilmu yang diajarkan ketika masa anak-anak.

Akhlak Mulia Kepada Khaliq dan Makhluq

Duhai saudariku muslimah-semoga Allah merahmatiku dan juga kalian semua-, istilah akhlak mulia bukanlah hal asing bagi kita. Hal itu karena akhlak mulia merupakan cita-cita yang diharapkan terwujud di setiap pribadi manusia. Tak ubahnya dengan angan-angan yang senantiasa terbayang dan diimpi-impikan setiap insan, akhlak mulia akan senantiasa terkenang dan tak usang dimakan peradaban. Ia akan senantiasa dinantikan sebagai penghias karakter seluruh generasi di segenap masa. Ia pun didoktrinkan kepada anak-anak agar menjadi kebiasaan di saat dewasa hingga usia senja. Oleh karena itulah, terasa demikian penting bagi kita untuk mengkajinya meskipun berulang-ulang.
Mengubah Cara Pandang yang Salah
Duhai saudariku muslimah, kebanyakan orang beranggapan bahwasannya akhlak mulia itu identik dengan interaksi sesama manusia dalam lingkungannya. Akibatnya, ada yang berpemikiran bahwa inti akhlak mulia dalam agama islam itu adalah interaksi bergaul atau mu’amalah dengan sesama manusia secara baik, dengan tidak melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Mereka pun berpandangan bahwasannya kejahatan terbesar adalah tindakan yang merugikan orang lain. Adapun tindak kesyirikan, kekafiran, bid’ah, menyembelih hewan untuk tumbal, menyediakan kembang dan kemenyan untuk sesaji, membaca zodiac dan ramalan bintang dan mempercayainya, menyia-nyiakan shalat dan ibadah lainnya, dianggap oleh mereka sebagai perkara pribadi yang tak perlu dipermasalahkan dan tak sepantasnya mendapat teguran, karena menyangkut hak asasi manusia yang menuntut untuk dihargai privasinya. Mereka menilai bahwa teguran hanyalah untuk pelaku tindak kriminal, koruptor dan orang yang mengambil hak orang lain atau orang yang menyakiti tetangga.
Padahal, akhlak mulia merupakan aset berharga yang seharusnya diterapkan pula dalam hal hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Bahkan, hendaknya mereka sadar bahwa dampak kesyirikan yang diremehkan sebagai bentuk akhlak buruk kepada Allah Sang Pencipta adalah tidak adanya ampunan Allah untuk mereka, kecuali jika mereka bertaubat.
Sadarilah, bahwa tidak mendapat ampunan Allah berarti kita akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh derita dan duka yang kekal selamanya. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
“sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa: 116).
Sebaliknya, tak jarang pula manusia yang beranggapan bahwa akhlak Islam adalah sekedar menunaikan hak Allah Sang Pencipta tanpa perlu menunaikan hak sesama manusia. Padahal menunaikan hak sesama merupakan bagian dari menunaikan hak Allah Sang Pencipta. Allah lah tempat kita memohon pertolongan dari kerancuan berpikir semacam ini.
Meskipun demikian keadaannya, sebenarnya tak kita pungkiri pula adanya bentuk kepedulian terhadap penerapan akhlak mulia yang mencakup kedua aspek tersebut, yang telah dapat kita rasakan dengan munculnya istilah hablum minannaas dan hablum minallaah.
Istilah ini dapat kita temukan ketika di kajian-kajian yang tersebar di negeri kita ini. Mengenai maknanya secara bahasa, kita serahkan kepada ahlinya dan saat ini kita lebih menekankan kepada maksudnya yaitu istilah hablum minannaas, artinya yang terkait dengan sesama tetangga dan sesama manusia.
Adapun hablum minallaah dimaksudkan untuk hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Dinasehatkan pula bahwasannya penerapan kedua hal tersebut hendaknya berimbang di dalam kehidupan kita. Namun sayangnya, istilah hanya tinggal istilah saja tanpa kesan mendalam di dalam dada. Hal itu disebabkan hubungan tersebut hanya dianggap sekedar mengingat nama dan tegur sapa jika terkait dengan sesama manusia dan sekedar dzikir, shalat, puasa, zakat, haji jika terkait dengan Sang Pencipta. Berawal dari sinilah kita bertolak menuju cara pandang yang benar bahwa hubungan dengan sesama manusia (hablum minannaas) memerlukan etika demikian pula hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallaah) juga memerlukan etika yang baik dan benar.
Etika yang baik dan benar dalam kedua hubungan tersebut perlu diterapkan dalam kehidupan kita dalam wujud akhlak mulia. Akhlak mulia dalam hubungan sesama manusia inilah akhlak mulia kepada makhluq dan akhlak mulia dalam hubungan dengan Allaah selaku Sang Pencipta makhluq dinamakan akhlak mulia kepada khaliq.
Akhlak Mulia adalah Cerminan Iman di Dada

Duhai saudariku muslimah, bagaimana pula seseorang memisahkan antara iman dan akhlak sedangkan terdapat hadits Rasulullaah Shallallaah ‘alaih wa sallam yang artinya:
“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (HR. At Tirmidzi).
Tentunya pemisahan itu adalah hal yang tak mungkin dan menyulitkan, sedangkan dalam pelajaran yang bisa didapatkan di madrasah-madrasah saja terdapat materi aqidah akhlak dalam satu paket buku rujukan. Hal itu seakan memperkuat bahwa aqidah yang merupakan bentuk iman yang terdapat di dalam dada seseorang adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan akhlaknya. Dengan demikian, hendaknya kita bersemangat dan berusaha menghiasi diri dengan akhlak mulia dalam dua aspek tersebut. Hal itu disebabkan,
“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya, sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (terj. HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbaad hafizhahullaah menjelaskan bahwa tidak sempurna keimanan seorang muslim hingga mengamalkan isi hadits tersebut, yakni mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia suka jika kebaikan tersebut ada pada dirinya. Kebaikan tersebut adalah meliputi perkara dunia dan akhirat serta dalam pergaulan. Hal itu mungkin membutuhkan kerja keras, akan tetapi yakinlah bahwa dengan kesungguhan dan kemauan serta niat yang ikhlas untuk menggapai kebaikan dan ridha-Nya, insya Allaah akhlak mulia bukanlah angan-angan semata dan akan dibukakan jalan keluarnya.
Ingatlah selalu motivasi ayat ini :
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh-pen-) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (terj.QS. Al-Ankabut: 69)
Barangkali adapula yang merasa berat dan bergumam: “bagaimana mungkin kedua aspek akhlak mulia bisa menghiasi diriku sedangkan masa laluku demikian suram, kebiasaan burukku demikian sulit kutinggalkan, karena demikianlah aku dididik dari semenjak aku dalam buaian, usiaku telah lanjut dan rambutku pun telah memutih, sering sakit-sakitan dan kesibukanku demikian banyak serta sedikit waktu luangku untuk mengolah kepribadian…” kemudian adapula yang tetap bermaksiat dan enggan melakukan latihan karena beranggapan akhlak buruk itu tak dapat diubah sebagaimana bentuk badan tak dapat diubah. Hendaknya pendapat semacam ini ditanggapi dengan pernyataan bahwa andaikan akhlak itu menolak perubaan, tentu nasihat dan peringatan tidaklah ada artinya.
Bagaimana engkau mengingkari perubaan akhlak sedangkan kita sama-sama melihat anjing liar bisa dijinakkan. Meskipun tidak dipungkiri bahwa sebagian akhlak ada yang mudah diubah dan ada yang sulit tetapi bukan mustahil diubah. Pengubahan akhlak buruk menjadi mulia bukan berarti mematikan akhlak tersebut sama sekali. Akan tetapi pengubahan tersebut adalah dalam rangka membawa akhlak menuju jalan tengah. Yaitu jalan yang sifatnya tidak tidak mengabaikan dan tidak pula berlebihan. Sebagaimana amarah, jika berlebihan akan menjadi tercela dan harus diubah. Namun, bukan berarti amarah tersebut dihilangkan karena diantara sifat orang yang bertaqwa adalah dia pernah marah, namun dia tahan marahnya. Allah berfirman, yang artinya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS. Ali Imran: 134)
dalam ayat tersebut Allah tidak menggunakan kata-kata “dan orang-orang yang membekukan amarahnya.”
Oleh karena itu, hentikanlah bisikan-bisikan syaitan yang membisikan kemustahilan dalam perubaan karakter buruk, akan tetapi “Berusahalah untuk melakukan yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi lemah (merasa tidak mampu-pen-)..” (terj. HR. Muslim).
Inilah Sejatinya akhlak Mulia

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhlak mulia mencakup dua aspek, yaitu: akhlak mulia kepada khaliq (sang pencipta) dan akhlak mulia kepada makhluq (sesama manusia).
Pembahasan mengenai akhlak mulia kepada makhluq sebenarnya cukup luas, hanya saja untuk kali ini kita membatasi pada manusia sebagai makhluq sosial.
Terkait akhlak mulia kepada khaliq, hendaknya tercakup didalamnya tiga perkara berikut:

1. Membenarkan berita-berita dari Allaah, baik berita tersebut terdapat dalam Al Qur’an ataupun disampaikan melalui lisan rasul-Nya yang mulia dalam hadits-haditsnya. Meskipun terkadang berita-berita dalam Al Qur’an dan hadits-hadits shahih itu tak sejalan dengan keterbatasan akal kita, hendaknya kita kesampingkan akal kita yang terbatas dan membenarkan berita tersebut dengan sepenuh keimanan tanpa adanya keraguan. Karena
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (QS. An Nisaa: 87)
Konsekuensi dari pembenaran tersebut adalah hendaknya berjuang mempertahankan kebenaran berita tersebut dan tidak roboh oleh argumen-argumen para pemuja akal yang seringkali datang menebarkan syubhat yang meracuni pikiran.
2. Melaksanakan hukum-hukum-Nya, meskipun terasa berat realitanya, ketika kita harus melawan hawa nafsu, akan tetapi hendaknya kita berakhlak mulia kepada Allah dengan menjalankan hukum-Nya dengan lapang dada dan penuh suka cita dan bukan mengharap penilaian manusia. Misalnya, ketika kita menjalani puasa wajib menahan lapar dan dahaga bukanlah hal ringan bagi hawa nafsu kita. Namun, akhlak mulia kepada Allah adalah dengan menjalani hal tersebut dengan lapang dada dan ketundukan serta kepuasan jiwa.
3. Sabar dan ridha kepada takdir-Nya, kendatipun terkadang pahit dan tak menyenangkan, hendaknya seorang insan berakhlak mulia kepada Allah dengan kesabaran menjalani takdir tersebut karena dibalik hal itu tentunya Allah menyimpan hikmah yang besar dan tujuan yang terpuji.
Adapun akhlak mulia kepada makhluq, hendaknya tercakup di dalamnya tiga hal pula:

1. Tidak menyakiti orang lain, terkait jiwa, harta dan kehormatannya. Dengan demikian tak sepantasnya memukulnya tanpa alasan apalagi membunuhnya, tak selayaknya mencuri hartanya dan tak sepatutnya mengolok-olok dan melukai perasaannya dengan panggilan buruk ataupun menggunjingnya. Perhatikanlah sabda Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam yang artinya:
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan-kehormatan kalian haram atas kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
kemudian sabdanya lagi yang artinya:
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).
2. Berderma dengan memberikan bantuan berupa materi maupun non materi (bisa berupa ilmu, motivasi, saran dan lain-lain)
3. Bermuka manis. Hal ini hendaknya tak dianggap remeh karena
“Janganlah engkau menganggap enteng perbuatan baik sedikit pun, meskipun (sekedar-pen-) engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim).
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Bermuka manis adalah menampakkan wajah berseri-seri ketika berjumpa dengan orang lain, lawannya adalah bermuka masam. “ kemudian beliau membawakan kisah Ibnu ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu yang ditanya tentang kebaikan maka Ibnu ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu menjawab, “wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang halus.” Syaikh kemudian menyebutkan syair milik seorang penyair yang artinya,
“Wahai anakku sesungguhnya kebaikan itu sesuatu yang mudah
Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang ramah”
Meskipun demikian, bermuka manis ini tak kemudian tanpa arahan. Hal itu karena terkadang kita perlu bermuka masam untuk menghindari bahaya tertentu. Misalnya, ketika kita bertemu dengan seorang yang olah bicaranya pandai dan berpengaruh tetapi dalam perkara yang buruk maka hendaknya kita tunjukkan muka masam kita sebagai tanda ketidaksukaan kita terhadap dirinya. Hal itu disebabkan jika kita bermuka manis padanya dikhawatirkan kita akan terbawa pengaruhnya dan sulit melepaskan diri dari pengaruhnya yang buruk.
Dengan demikian, kita perlu mengingat nasehat nan berfaidah dari Imam Ibnul Qayyim Rahimahullaah dalam kitabnya Ighatsah Al-Lahafan Min Mashayidi Asy Syaithan:
“Termasuk dari macam-macam perangkap syaitan dan tipu dayanya bahwa syaitan mengajak seorang hamba Allah kepada berbagai macam bentuk dosa dan kenistaan dengan sebab akhlak baik si hamba tersebut dan kemurahan hatinya…”
Oleh karena itu, dalam bab bermuka manis ini hendaknya kita menempatkan sesuai pada tempatnya.
Duhai saudariku muslimah, demikianlah kiranya yang bisa diuraikan. Semoga bermanfaat di dunia hingga di akhirat yang kekal.
Syaikh As sa’dy dalam kitabnya, Bahjah Qulubil Abrar menyebutkan pula bahwa akhlak mulia kepada makhluq adalah badzalun nadaa (suka membantu orang lain), ihtimaalul adzaa (bersabar dengan gangguan orang lain) dan kafful adzaa (tidak mengganggu orang lain). Kemudian beliau menyebutkan ayat Al Qur’an yang artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
dan
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Kemudian beliau berkata bahwa barangsiapa yang berakhlak mulia kepada khaliq dan pula kepada makhluq, sungguh orang tersebut telah meraih kebaikan dan keberuntungan. Wallaahu a’laam.
Duhai saudariku muslimah, dengan iman yang kuat, tekad yang membaja dan niat yang tulus, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, sabar dan do’a, insya Allah akhlak mulia bisa menjadi milik kita. Setelah itu, hendaknya kita meniatkan usaha kita menggapai akhlak mulia tersebut hanya mengharap pahala dan menggapai ridha-Nya kemudian mengikuti cara-cara yang dituntunkan oleh Rasulullaah shallaallaah ‘alaihi wa sallam karena sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimaullaah dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin bahwasaannya,
“Pensucian jiwa lebih berat dan lebih sulit dibandingkan pengobatan badan, barangsiapa mensucikan jiwanya dengan latihan, usaha keras dan menyendiri tanpa ada contoh dari para Rasul maka ia seperti orang sakit yang menyembuhkan dirinya dengan pendapatnya semata.”
Hal itu tentunya bisa mengakibatkan overdosis atau kurang dosisnya sehingga tujuan pengobatan pun tak tercapai. Allahul musta’aan.
Diantara senjata seorang muslim dalam perbaiakn akhlak adalah dengan mencari teman yang baik dan do’a. Contoh do’a yang Rasulullaah shallallaah ‘alayh wa sallam ajarkan terkait akhlak adalah:
اللَّهُمَّ كَمَا حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي
Allahumma kamaa hassanta khalqy, fahassin khuluqy
“Wahai Allaah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlak ku.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibn Hibban)
اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأخْلاَقِ ، وَالأعْمَالِ، والأهْواءِ
Allahumma innii a’udzubika min munkaraatil akhlaaq wal a’maal wal ahwaa-i
“Wahai Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran-kemungkaran akhlak, amal perbuatan dan hawa nafsu.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albaniy)
Akhirnya, hanya kepada Allahlah kita hendaknya memohon pertolongan. Dan hanya kepada-Nyalah kembalinya segala pujian yang karena nikmat-Nya sematalah menjadi sempurna segala kebaikan. Allahu ta’alaa a’laam bish shawaab.
***
muslimah.or.id
Penulis: Zainab bintu Hadi
Muroja’ah: Ust. Ammi Nur Baits
Maraaji’:
1. Al Qur’an Al Karim wa Tarjamatu Ma’aaniihi ila Al Lughati Al Andunisiyyah, Madinah.
2. Mukhtashar Minhaajul Qaashidiin, Ibnu Qudamah Al Maqdisiy. Daar Al ‘Aqiidah. Kairo.
3. Bahjah Quluubil Abraar wa Qurratu ‘Uyuunil Akhyaar Syarh Jawaami’ul Akhbaar, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy. Daar al Kutuub Al ‘Ilmiyyah. Beirut, Libanon.
4. Buluughul Maraam min Adillatil Ahkaam, Ibnu Hajar Al Asqalaniy. Daar Al Fikri. Beirut, Libanon.
5. Fathul Qawiyyil Matiin fii Syarhi Al Arba’iin wa Tatimmah Al Khamsiin li An Nawaawy wa Ibn Rajab Rahimahumallaah. ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbaad Al Badr. Daar Ibnil Qayyim, Saudi Arabia dan Daar Ibni ‘Affaan, Kairo.
6. Syarh Hishnul Muslim min Adzkaaril Kitaab Was Sunnah li Asy syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad. Riyadh.
7. Nashiihaty lin Nisaa’, Ummu ‘Abdillaah bintu Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy. Daar Al Atsaar. Shan’aa.
8. Bengkel akhlak, Fariq bin Gasim Anuz. Darul Falah. Jakarta.
9. Ensiklopedi Mini Kemuliaan Pribadi Nabi Shallallaah ‘alayh wa sallam. Muhammad bin Jamil Zainu. Salwa Press. Tasikmalaya.
10. Do’a dan Wirid. Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani. At Tibyan. Solo.

Bergaul dengan Akhlak yang Baik

Mungkin engkau pernah mendengar atau membaca hadits Abu Dzar Al-Ghifari z yang menyebutkan sabda sang Rasul n:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susullah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 97 dan di kitab lainnya)
Hadits ini, kata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di t, merupakan hadits yang agung. Di dalamnya, Rasul yang mulia n mengumpulkan hak Allah l dan hak hamba-hamba-Nya. Hak Allah l terhadap hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapatkan kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat Allah l kepada orang-orang terdahulu maupun belakangan. Sebagaimana takwa merupakan wasiat setiap rasul kepada kaumnya, di mana sang rasul menyerukan:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (Nuh: 3)
Tentang perangai orang yang bertakwa ini, Allah l sebutkan antara lain dalam firman-Nya berikut ini:
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang orang yang benar imannya dan mereka itulah orang orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanyà, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)
Allah l menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa sebagai orang yang beriman dengan pokok-pokok keimanan (rukun iman), keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya, baik secara zhahir maupun batin, dengan menunaikan ibadah-ibadah badaniyah (yang dilakukan tubuh) dan maliyah (ibadah dengan harta). Orang yang beriman adalah orang yang sabar dalam kesulitan dan kesempitan, memaafkan manusia, menanggung gangguan dari mereka dengan tabah dan justru berbuat baik kepada mereka. Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang bersegera meminta ampun dan taubat manakala mereka terjatuh dalam perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri.
Dalam hadits Abu Dzar z di atas, Rasulullah n mewasiatkan agar seorang hamba terus-menerus bertakwa di mana saja dia berada, di setiap waktu dan setiap tempat, serta dalam segala keadaannya. Kenapa demikian? Karena si hamba sangat butuh kepada takwa, tak pernah bisa lepas darinya. Bila sampai lepas, ia akan binasa.
Namun yang namanya manusia mesti ada kekurangannya dalam menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban takwa. Maka Rasulullah n memerintahkan untuk melakukan perkara yang dapat membersihkan cacat tersebut dan menghilangkannya. Yaitu, bila sampai si hamba jatuh dalam kejelekan maka ia bersegera menyusulnya dengan hasanah (kebaikan).
Hasanah sendiri adalah nama dari segala perbuatan yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah l. Hasanah yang paling agung yang dapat menolak kejelekan adalah taubat nashuha, istighfar, dan inabah (kembali) kepada Allah l dengan mengingat dan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta berambisi untuk meraih keutamaan-Nya pada setiap waktu.
Termasuk hasanah yang dapat menolak kejelekan adalah memaafkan manusia, berbuat baik kepada makhluk Allah l, menolong orang yang sedang ditimpa musibah, memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan, menghilangkan kemadharatan dan kesempitan dari hamba-hamba Allah l. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)
Rasulullah n bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus kesalahan yang dilakukan di antaranya, selama dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
Banyak lagi dalil lain yang menunjukkan diperolehnya ampunan berkat amalan ketaatan.
Musibah yang menimpa seorang hamba juga merupakan penghapus kesalahan. Karena tidaklah seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, sakit bahkan sekadar tertusuk duri melainkan Allah l akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana dikabarkan dalam hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5641) dan Muslim (no. 2753).
Musibah itu bisa berupa hilangnya sesuatu yang dicintai, atau terkena sesuatu yang dibenci pada tubuh, hati ataupun harta, baik yang sifatnya di dalam ataupun di luar. Musibah ini bukan sengaja dilakukan hamba terhadap dirinya. Karena itulah Rasulullah n memerintahkan seorang yang tertimpa musibah untuk melakukan amalan yang merupakan perbuatannya, dilakukan dengan kesadarannya, yaitu menyusul kejelekan yang terlanjur dilakukan atau kejelekan yang menimpa dirinya dengan kebaikan.
Pada akhirnya Rasulullah n berpesan, “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Akhlak baik terhadap manusia yang pertama adalah menahan diri dari mengganggu mereka dari segala sisi. Memaafkan keburukan mereka dan gangguan mereka terhadapmu, kemudian engkau bermuamalah dengan mereka dengan muamalah yang baik dalam ucapan maupun perbuatan. Termasuk akhlak baik yang paling khusus adalah sabar menghadapi mereka, tidak jenuh dengan mereka, berwajah cerah, berkata lembut, berucap indah yang menyenangkan teman duduk, memberikan kegembiraan pada teman, menghilangkan rasa tidak enak di hati mereka, dan terkadang memberikan gurauan jika memang ada maslahat. Akan tetapi tidak sepantasnya banyak bergurau atau guyonan. Karena bercanda dalam ucapan seperti garam pada makanan. Kalau tidak ada garam, makanan terasa hambar, namun bila terlalu banyak makanan menjadi asin. Dengan demikian, bila bercanda ini tidak ada atau sebaliknya melebihi batasan, maka menjadi tercela.
Termasuk akhlak yang baik adalah bergaul kepada manusia dengan apa yang pantas bagi mereka dan sesuai dengan keadaannya, dengan memandang apakah orang yang diajak bergaul itu masih kecil atau sudah besar, berakal atau terbelakang, seorang alim ataukah orang yang jahil/bodoh.
Sungguh, siapa yang bertakwa kepada Allah l, merealisasikan takwanya dan bergaul baik kepada manusia dengan perbedaan tingkatan mereka berarti ia telah mencapai kebaikan secara keseluruhan, karena ia telah menegakkan hak Allah l dan hak para hamba. Juga karena ia termasuk orang yang berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah l dan berbuat ihsan terhadap hamba-hamba Allah l.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, karya Al-’Allamah Abdurrahman ibnu Sa’di t, hal. 48-50)

Berhias dengan Akhlak Mulia

Penulis : Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan agar manusia memiliki akhlak mulia. Akhlak mulia (akhlakul karimah) sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan yang kadang harus menghadapi cobaan-cobaan. Dengan akhlak mulia berbagai bentuk cobaan hidup bisa dijalani sehingga kita senantiasa diridhai Allah.
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita harus dihadapkan dengan tantangan dan gesekan-gesekan hidup. Gesekan itu bisa datang dari diri kita sendiri atau dari orang lain. Tidak jarang kita dihadapkan dengan orang-orang terdekat seperti kedua orang tua, sanak famili, teman-teman, dan bahkan dari seluruh masyarakat.
Ini adalah suatu keniscayaan, terlebih kalau kita hidup bersama dengan orang lain. Yang demikian itu terjadi karena kita tidak memiliki hati yang satu dan tujuan yang sama. Itulah yang mengakibatkan terjadinya gesekan-gesekan dalam hidup. Sebagai individu saja, kita sering menghadapi problema, maka terlebih lagi kalau terkait dengan orang lain. Maka dari itu Islam telah mengajarkan akhlak yang mulia untuk menghadapi semua itu dan bergaul bersama orang lain dengan pergaulan yang baik.
Sudahkah Anda berbakti kepada kedua orang tua dan tahukah hukumnya? Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu (agar kamu mengatakan kepada mereka) janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al Isra’: 23)
Pernahkah Anda merasa kasihan kepada orang yang mendapatkan musibah dan terdorong untuk segera membantunya? Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al Maidah : 2)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَهُ اللهُ فِي الدُنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barang siapa memberikan kemudahan terhadap kesulitan saudaranya niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. (HR. Muslim)
Bisakah Anda tawadhu’ (merendahkan diri) di hadapan saudara Anda? Padahal Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan rendahkanlah dirimu di hadapan orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman.” (Asy Syu’ara: 215).
Bisakah Anda menahan marah ketika melihat kekurangan pada diri saudara Anda? Padahal telah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah!! Nasehatilah Aku”. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu marah.” Orang tersebut mengulangi (pertanyaannya), Rasulullah tetap mengatakan: “Janganlah kamu marah”. (HR. Al Bukhari).
Bisakah Anda menjadi orang pemaaf ketika saudaramu bersalah dan berkeinginan untuk meminta maaf? Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan serulah kepada kebajikan dan berpalinglah dari orang-orang jahil.” ( Al A’raf: 199).
Bisakah Anda menebarkan salam dan tersenyum di hadapan saudaramu? Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاََمِِ وَعِيَادَةُ المَِريْضِ وَاتِّبَاعُ الجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشمِيْتُ العَاطِشِ
“Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, menjawab undangan dan menjawab orang yang bersin.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Bisakah Anda lemah lembut di hadapan saudaramu? Padahal Allah Subhana wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka dengan rahmat Allah-lah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka dan jika kamu berlaku kasar terhadap mereka niscaya mereka akan menyingkir dari sisimu.” (Ali Imran: 159).
Pernahkah anda sadar membaca Bismillah ketika ingin makan dan minum? Sadarkah pula bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, sementara dengan tangan kiri adalah haram? Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِك وَ كُلْ مِمَّا يَلِيْك
“Hai anak, bacalah Bismillah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dan pernahkah anda sadar bahwa makan dan minum dengan tangan kiri adalah cara syaitan? Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ الشَّيْطانَ كَان يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ بِالشِّمَالِ
“Maka sesungguhnya syaitan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim).
(Apakah Anda) masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam? Allah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian masuk ke dalam rumah-rumah yang bukan rumah kalian sehingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam atas penghuninya.” (An Nuur: 27).
Sayangkah Anda kepada saudaramu sesama muslim? Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يَرْحَمُهُ اللهَُ
“Barang siapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan menyayanginya. ” (HR. Muslim) Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sebagian dari akhlak yang harus diperhatikan seorang muslim di dalam hidup bermasyarakat.

Berakhlak Yang Baik

Kita menginginkan semua orang baik dengan kita dan menginginkan agar mereka cinta dan sayang. Berharap memiliki teman yang mengetahui jati diri kita, keluarga kita, dan berusaha meringankan beban hidup kita. Mencari teman yang bisa kita ajak menuju segala bentuk kebajikan. Kita ingin memiliki teman yang tawadhu’, lapang dada, penyayang, ramah tamah, ringan tangan, penyabar, yang suka mengingatkan ketika kita lupa dan yang menasehati ketika bersalah, selalu bermuka manis dan ceria, memiliki tutur kata yang baik, lemah lembut, dermawan, menerima kekurangan orang lain, pemaaf dan akhlak-akhlak baik lainnya. Untuk mendapatkan hal yang demikian, tentu memiliki sebab-sebab dan syarat-syarat yang harus dilakukan yaitu “berakhlak dengan akhlak yang baik”. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan iringilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapus perbuatan jelek tersebut dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi)
Dalam hadits ini ada beberapa pelajaran penting, di antaranya anjuran untuk selalu memberikan wasiat kepada saudaranya dan mengingatkan kewajiban-kewajibannya, setiap orang harus merasa diawasi oleh Allah, perbuatan baik akan menghapus perbuatan jelek, dan bergaul dengan setiap orang dengan akhlak yang baik.
Wallahu a’lam

CIRI-CIRI AKHLAK MUSLIM

Seorang muslim yang benar2 muslim adalah muslim yang mana akhlaknya sentiasa terjaga. Dia tahu membezakan yang mana baik yang mana buruk, sentiasa amal maaruf nahi mungkar. Sekiranya pernah melakukan sesuatu yang jelak disisi Allah, dia berusaha berubah ke arah kebaikan dan berusaha menjaga akhlaknya..Mari kita renungi sedikit ciri-ciri akhlak islam yang perlu ada pada diri seorang Muslim.

  • Warak daripada syubhah.
  • Menjaga pandangan.
  • Memelihara lidah.
  • Malu.
  • Lemah lembut.
  • Benar dan jujur.
  • Tawaduk.
  • Menjauhi berburuk sangka, mengumpat, dan mencari keburukan orang lain.
  • Pemurah.
  • Qudwah hasanah (menunjukkan contoh yang baik).
Diharapkan dengan sedikit santapan rohani ini,kita dapat bermuhasabah diri dan berusaha untuk menjaga akhlak kita sebagai seorang muslim

Keindahan Akhlak Suami Bawa Kara Allouzi Memeluk Islam

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Akhirnya Kara Allouzi menemukan Islam setelah bertemu dengan seorang pria muslim yang mempersuntinggnya. Wanita 45 tahun itupun mengucapkan dua kalimat syahadat pada 1993.

Kara menyadari setelah memeluk Islam hidupnya berada dalam lingkaran keberkahan luar biasa. Diakuinya, ia menjadi seorang muslim bukan karena menikah dengan suaminya.
Kara mengaku terpesona dengan perilaku dan akhlak suaminya yang selalu memberikan contoh baik dan tulus serta sabar dalam membimbingnya ke jalan yang lurus dalam mencari kebenaran. (baca: Kara Allouzi: Islam Pilihan Terbaik).

Apalagi, suaminya juga mengajarkan anak-anak mereka dengan kasih sayang dan ajaran Islam. "Setelah kami menikah, saya mulai belajar tentang Islam. Sedikit demi sedikit, suami saya memberikan contoh yang sangat baik dari Islam, ia mencerminkan seorang muslim yang baik. Ia tidak pernah memaksa saya atau mendorong saya atau sesuatu seperti itu," papar Kara. (baca: Allouzi Bimbang tak Bisa Berkomunikasi Langsung dengan Tuhan).

Suatu ketika suaminya harus dirawat di rumah sakit, dan disaat yang sama ada sebuah sekolah Islam yang membuka penerimaan murid baru. Suaminya lalu ingin memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam tersebut. Kara menyanggupi permintaan suaminya.

"Setelah saya memasukkan mereka ke sekolah Islam, saya datang dan melihat betapa indahnya Islam itu. Dan sekolah itu benar-benar menunjukkan keindahan agama, bukan hanya sisi agama tapi juga cara hidup," katanya.
Redaktur : Karta Raharja Ucu

Sepuluh Akhlak Yang Harus Dimiliki Muslim/Muslimah

sumber: Kafemuslimah.com
Akhlak : Dalam bahasa, akhlak (budi pekerti) berarti kebiasaan atau watak. Secara terminologi, akhlak berarti kebiasaan, tabiat, atau watak di dalam diri yang menjadi sumber terjadinya perbuatan, tanpa unsur rekayasa ataupun reka-reka. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa akhlak adalah tindakan tanpa rekayasa.
Sepuluh Akhlak Muslim/Muslimah :
(1). Tidak menyakiti orang lain. “Orang Muslim adalah orang yang orang-orang Muslim lainnya selamat dari (keusilan) lidah dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah atas dirinya” H.R. Al-Bukhari dari Abdullah bin Amru. Hadis tersebut menyatakan bahwa Muslim terbaik adalah Muslim yang menunaikan hak-hak kaum Muslimim lainnya dalam menjalankan hak-hak Allah, artinya orang Muslim harus mencegah diri dari menyakiti orang lain. Penyebutan lidah dan tangan adalah manifestasi cara menyakiti orang lain, baik secara verbal maupun fisik. Balas menyakiti orang yang menyakiti kita sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi yang lebih afdal adalah bersabar dan mengharapkan pahala di sisi Allah (Q.S. Al-Ahzaab 58). Manifestasi perilaku tidak menyakiti orang lain adalh dengan :
  • Tidak menyakiti tetangga ; pesan berinteraksi secara baik dengan tetangga gencar disampaikan melalui peringatan bahwa tetangga adalah salah satu pintu masuk surga dan bahwasanay mereka kelak menjadi saksi kita di akhirat
  • Menjaga mulut Ldah kelak menjadi cambuk siksaan di hari kiamat. Menjaga lidah adalah jalan menuju keselamatan. Semakin banyak berbicara akan semakin banyak tersilap. Oleh karena itu, berpikirlah sebelum berbicara dan jangan berbohong, berkata kasar, ghibah, mengejek, dll.
  • Tidak menyakiti anak-anak Hindari mengejek dan meremehkan anak-anak, pilih kasih dalam memperlakukan mereka, atau mendoakan mereka celaka.
(2). Menyingkirkan benda menyakitkan dari jalan. “Iman itu ada tujuh puluh sekian atau enam pulih sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaaha illallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan benda dari jalanan dan malu termasuk cabang keimanan.” H.R.Muslim dari Abu Hurairah r.a. Mneyingkirkan benda yang menyakitkan dari jalan adalah salah satu bentuk manifestasi dzikir yang bisa menjauhkan manusia dari api neraka.
(3). Malu. Malu adalah perhiasan wanita yang paling indah dan elok, bahkan merupakan sebagian dari iman dan Nabi SAW sendiri pun terkenal sangat pemalu. Hal ini karena malu menganjurkan kebaikan dan menghindarkan keburukan. Malu mencegah kealpaan untuk bersyukur kepada yang memberi nikmat dan mencegah kelalaian menunaikan hak orang yang memiliki hak. Disamping itu, malu juga mencegah berbuat/berkata kotor demi menghindari celaan dan kecaman. Malu adalah rasa yang membuat seorang mukmin urung melakukan maksiat karena perasaan serba salah jika sampai dilihat oleh Allah. Malu yang berlebihan adalah rasa sungkan yang justru merupakan kelemahan ental dan sering menimbulkan banyak masalah. Sikap keterlaluan perempuan dalam tertutup dan mengurung diri dari pergaulan dengan laki-laki bukanlah rasa malu, melainkan lebih merupakan faktor kesungkanan. Kewajiban dalam rasa malu ada empat:
  • Berpakaian  menutup aurat
  • Memandang  menahan pandangan matanya
  • Berbicara  tidak bergaya centil dan manja ketika berbicara.
  • Pergaulan  tidak berdesakan dengan lelaki
(4). Santun berbicara. “Sesungguhnya seseorang mengatakan satu patah kata yang ia pandang tidak ada masalah. Padahal, sepatah kata itu enyebabkan ia harus mendekam di neraka selama tujuh puluh tahun.” (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a) Kesantunan berbicara dimanifestasikan dalam tiga hal :
  • Berbicara pelan  jangan mengeraskan suara diatas volume yang dibutuhkan pendengar karena hal itu tidak sopan dan menyakitkan. Wanita yang bersuara keras menunjukkan ia belum terdidik sempurna dan masih membutuhkan evaluasi panjang dengan dirinya sendiri.
  • Memperhatikan pembicaraan lawan bicara dan tidak menjatuhkan harga dirinya  hal ini dapat dicapai dengan tersenyum, berbicara sesuatu yang menjadi perhatian/kesenangan lawan bicara, dan simak lawan bicara dengan penuh perhatian.
  • Tidak memotong pembicaraan
(5). Jangan berbohong. “Tidak beriman seorang hamba dengan keimanan yang sepenuhnya sampai ia meninggalkan bohong meski dalam bercanda dan meninggalkan perdebatan meskipun dalam posisi benar” (H.R. Ahmad dari Abu Hurairah r.a. ) Iman dan kebohongan tidak bisa menyatu dalam hati seorang mukmin. Kebohongan akan mengarah kepada kemunafikan. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang bersisian. Tidak ada yang bernama bohong putih atau bohong hitam, kebohongan kecil tetaplah ditulis sebagai kebohongan. Sikap seperti membanggakan diri, bercanda, dan berkelakar juga dapat menjerumuskan kepada kebohongan. Bentuk kebohongan terbesar terhadap Allah adalah kebohongan dalam berniat, berjanji, dan beramal. Bohong yang diperbolehkan adalah bohong untuk mendamaikan dua orang yang bersiteru, bohong dalam perang, dan bohong untuk menyenangkan suami/istri.
(6). Tinggalkan perdebatan. “Sesungguhnya tadi aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentang Lailatul Qadar, namun di tengah jalan si Fulan dan Fulan sedang bertengkar mulut, maka dihapuskanlah (pengetahuan tentang itu). Semoga (penghapusan) ini lebih baik bagi Anda sekalian. Telisiklah ia pada malam ketujuh, kesembilan, dan kelima (terakhir bulan Ramadhan)” (H.R. Al-Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit) Rasulullah hendak memberikan kabar gembira mengenai waktu turunnya lailatul qadr secara pasti, tetapi pengetahuan tentang ini dilupakan darinya karena mendengar perdebatan. Berdebat tidak baik karena ia membuka kesempatan kepada syaitan untuk turut melakukan provokasi didalamnya. Debat dapat memunculkan fitnah, keraguan, menghapuskan amalan, mengeraskan hati, melahirkan dendam, dll. Arena yang paling disukai setan adalah permusuhan dimana tiap pihak berusaha untuk menunjukkan aib pihak lain dan menyucikan dirinya sendiri, dan debat dijadikan saran untuk memperoleh kemenangan semu. Dengan meninggalkna debat, itu adalah bukti kepercayaan kepada diri sendiri, keimanan pada manhaj, dan keyakinan kepada Allah SWT. Debat yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan argumentasi yang lebih baik dan santun. Bertahan dengan cara yang baik dengan berdiskusi dan memaparkan argumentasi secara santun, sembari meminta maaf dan memaafkan kesalahan ucap.
(7). Jangan bakhil (pelit). Predikat paling buruk yang disandang oleh wanita muslimah adalah jika ia disebut wanita bakhil/pelit. Orang bakhil yang paling bakhil dapat dibagi tiga :
  • Orang yang bakhil dengan dunia di jala akhirat.
  • Orang yang bakhil pada dirinya sendiri dengan dalih zuhud meninggalkan keduniaan.
  • Orang yang mendengar nama Nabi SAW disebut dihadapannya namun ia tidak bershalawat. Salah satu makar orang bakhil adalah memeluk erat-erat uangnya semasa hidup, namun begitu diambang kematian ia lantas membagi-bagikan apa yang dimilikinya kepada ahli waris.
Berikut manifestasi yang mengekspresikan sifat tidak bakhil :
  • Mengeluarkan zakat wajib.
  • Memberikan shadaqah.
  • Menyuguhi tamu.
  • Memberikan hadiah. Satu lagi menifestasi bakhil dalam kehidupan rumah tangga ialah bakhil dengan tidak melontarkan kata-kata manis dan perasaan-perasaan mulia, khususnya dengan suami.
(8). Tepiskanlah rasa dengki. Surga yang luas disediakan khusus untuk orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia. (Ali Imran 133-134). Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan dalah Ihya Ulumuddin bahwa, “Marah bertempat di hati. Kemarahan yang hebat berarti mendidihnya darah di dalam hati menuntut pembalasan yang merupakan makanan marah dan syahwatnya, dan ia tidak akan tenang kecuali dengan penuntasannya.” Dengki didefenisikan sebagai memendam permusuhan di dalam hati dan menunggu-nunggu kesempatan pemuasannya. Muncul ketika merasa muak dan jengkel terhadap seseorang. Dengki akan melahirkan 8 buah kezaliman terhadap orang lain :
  • Hasud
  • Mencaci maki saat terjadi bala cobaan
  • Mendiamkan
  • Melecehkan, berpaling, menjauh
  • Ghibah
  • Mengolok-olok
  • Menyakiti fisik
  • Menahan kucuran kemurahan (pemberian dan silaturrahim) Jika orang shahih jengkel, maka berbuat adil.
Jika orang budiman jegkel, maka mereka bertindak mulia. Jika orang naif jengkel, mereka bertindak semena-mena. Untuk mencapai status Ash-Shiddiiqiin (orang-orang budiman) maka ada tiga tangga yang harus dilalui, yaitu :
  • Menahan amarah
  • Memaafkan kesalahn manusia
  • Berbuat baik kepada orang yang memusuhi
(9). Dilarang iri/hasud. Hasud adalah reaksi jiwa dan oenyakit hati yang menganggap nikmat Allah yang diterima seesorang terlalu banyak untuknya sembari mengangan-angankan raibnya kenikmatan tersebut dari mereka. Faktor penyebab diantaranya : • Permusuhan, kebencian, kemarahan, kedengkian.
  • Takabur dan arogan
  • Kegearan pada dunia
  • Ambisi kekuasaan
  • Kebusukan jiwa dan kekerdilan dari kebaikan Hasud adalah senjata makan tuan yang menghasilkan mudarat dunia dan keagamaan.
Orang yang dihasudi justru berada diatas angin sebab ia memperoleh beragam keuntungan dengan kehasudan orang yang menghasudinya, di dunia maupun di akhirat. Obat penyembuh hasud adalah ilmu dan amal. Ilmu : orang alim adalah orang yang tidak hasud pada orang yang lebih tinggi dan tidak melecehkan orang lebih rendah (tingkat keilmuannya). Amal : dengan amal proses pengurungan hasud bisa berjalan dengan sempurna.
(10). Pantang terpedaya (Ghurur) Ghurur adalah bentuk kelalaian dan keterpedayaan dan merupakan predikat yang menempel pada setiap penipu. Ghurur memiliki tiga sumber utama :
  • Tertipu oleh angan kehidupan dunia –> merasa Allah memberinya kehidupan dunia yang melebihi orang lain dan beranggapan karunia tersebut sebagai kelebihan, bukan sebagai kemurahan, dan mungkin mengandung ujian dan cobaan apakah ia bersyukur atau malah kufur.
  • Tertipu oleh janji setan –> setan senantiasa memberi bisikan yang membesarkan dirinya sehingga tidak lagi peduli pada dosa besar dan kecil.
  • Tertipu oleh angan ampunan Allah –> Allah mencela kalangan ahlul kitab, orang munafik, dan pemaksiat atas ilusi dan keterpedayaan mereka o Ilusi ahlul kitab –> bahwa dengan kekuatan yang dimiliki, mereka bisa mengalahkan Allah. o Ilusi orang munafik –> mereka berpikir bahwa di akhirat kelak mereka bisa mengatakan hal yang sama yang pernah mereka katakan kepada kaum mukminin sewaktu di dunia, bahwa mereka bersama-sama kaum mukminin.
Manifestasi ghurur cukup beragam, diantaranya :
  • Meremehkan amalan-amalan ringan
  • Mencemooh kaum papa dan fakir miskin, enggan bergaul dengan mereka.
Untuk mengatasinya, letakkanlah gumpalan pahala di depan mata Anda ketika melakukan amalan-amalan sepele dan ringan.